Warga Palestina menyalakan api di tengah kerusakan yang ditimbulkan Israel di Gaza. (Anadolu Agency)
Kairo: Pertemuan keempat Aliansi Global untuk Implementasi Solusi Dua Negara digelar di Kairo, Mesir, pada Senin kemarin. Forum ini menyoroti penolakan tegas terhadap relokasi paksa warga Palestina dari Gaza, yang menjadi fokus utama dalam diskusi antarnegara.
Dipimpin Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty, pertemuan ini dihadiri sejumlah pejabat tinggi, termasuk Komisaris Jenderal Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini, Koordinator Kemanusiaan PBB untuk Gaza, Sigrid Kaag, serta perwakilan dari lebih dari 35 negara dan organisasi internasional, demikian menurut pernyataan Kementerian Luar Negeri Mesir.
Melansir dari Anadolu Agency, Selasa 18 Februari 2025, aliansi ini pertama kali dibentuk Arab Saudi pada September 2024, dengan pertemuan perdana diadakan di Riyadh sebulan kemudian.
Dukungan Penuh untuk Solusi Dua Negara
Dalam pidato pembukaannya, Abdelatty menegaskan komitmen penuh Mesir terhadap Solusi Dua Negara (
Two-State Solution) sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian berkelanjutan di kawasan. Ia kembali menekankan pentingnya pembentukan negara Palestina yang berdaulat berdasarkan perbatasan 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Abdelatty juga memuji inisiatif Arab Saudi dalam membentuk koalisi ini dan menekankan perlunya kerja sama internasional yang lebih erat untuk mengimplementasikan solusi tersebut.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa Mesir menentang keras segala bentuk relokasi paksa warga Palestina, sebuah sikap yang sejalan dengan pendirian negara-negara Arab lainnya serta komunitas internasional yang lebih luas.
Penolakan ini semakin menguat setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini mengusulkan rencana kontroversial yang mencakup "mengambil alih"
Gaza, merelokasi penduduk Palestina ke negara-negara tetangga, serta mengubah wilayah tersebut menjadi "Riviera di Timur Tengah.” Usulan tersebut mendapat kecaman luas dari negara-negara Arab dan komunitas internasional.
Rekonstruksi Gaza dan Peran UNRWA
Selain membahas aspek politik, Abdelatty juga menyoroti upaya Mesir dalam menyusun rencana bertahap untuk pemulihan awal dan rekonstruksi Gaza. Ia menegaskan pentingnya mendukung peran kemanusiaan UNRWA di tengah meningkatnya tekanan terhadap badan tersebut.
Ia mengkritik keras langkah-langkah yang diambil Israel untuk menghambat operasi UNRWA, termasuk dua undang-undang yang baru saja disahkan oleh parlemen Israel yang bertujuan membatasi aktivitas badan tersebut.
UNRWA telah lama menjadi penyedia bantuan utama bagi pengungsi Palestina di lima wilayah operasi utama: Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, Gaza, Suriah, Lebanon, dan Yordania.
Dalam kesempatan yang sama, Lazzarini menegaskan bahwa UNRWA memainkan peran vital dalam menyediakan layanan dasar bagi warga Palestina, meski menghadapi berbagai tantangan akibat pembatasan yang diberlakukan Israel.
Sementara itu, Sigrid Kaag mengungkapkan harapannya agar perjanjian gencatan senjata yang sedang berlangsung dapat terus dipertahankan, serta mendesak akses kemanusiaan yang lebih luas ke Gaza. Ia juga memaparkan perkiraan awal mengenai biaya rekonstruksi Gaza, meski tanpa menyebut angka spesifik.
Upaya Mediasi Berlanjut
Di tengah ketidakpastian terkait masa depan Gaza, Mesir dan Qatar terus menjalankan peran penting dalam upaya mediasi untuk mempertahankan perjanjian gencatan senjata.
Namun, berbagai pelanggaran yang dilakukan Israel serta kendala logistik menjadi tantangan dalam implementasi penuh dari tahap pertama kesepakatan tersebut. (
Muhammad Reyhansyah)
Baca juga:
Vatikan: Penduduk Palestina Harus Tetap Tinggal di Lahannya