Menlu Rusia Sergey Lavrov. (Anadolu Agency)
Muhammad Reyhansyah • 12 November 2025 09:48
Moskow: Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menegaskan pada Selasa, 11 November 2025 bahwa Moskow tidak melakukan uji coba nuklir, membantah pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menyebut sebaliknya.
Lavrov menyebut pernyataan Trump bahwa Washington harus mengikuti praktik “uji coba Rusia dan Tiongkok yang telah lama dilakukan” sebagai sebuah “kesalahpahaman,” dan mengatakan pihaknya telah meminta klarifikasi dari AS.
“Apa yang dikatakan Presiden Trump tentang dugaan uji coba yang dilanjutkan di Rusia dan Tiongkok tidak sesuai dengan kenyataan jika yang dimaksud adalah pengujian senjata nuklir,” kata Lavrov dalam konferensi pers di Moskow, seperti dikutip Anadolu Agency, Rabu, 12 November 2025.
Ia menegaskan bahwa uji coba sistem rudal jelajah Burevestnik dan drone bawah laut Poseidon tidak melanggar Traktat Pelarangan Uji Coba Nuklir Komprehensif (CTBT), karena kedua sistem tersebut menggunakan tenaga nuklir tetapi tidak melibatkan ledakan nuklir.
“Bentuk pengujian lain, termasuk eksperimen ‘subkritis’ yang tidak memicu reaksi berantai nuklir dan pengujian sistem peluncur, tidak pernah dilarang. Kami berupaya meluruskan hal ini,” ujarnya.
Menanggapi laporan media tentang dugaan perselisihan dengan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, Lavrov berkata singkat, “Banyak kebohongan di sini.”
Ia juga menyatakan keprihatinan terhadap pernyataan Robert Kadlec, calon Wakil Menteri Pertahanan AS, yang menurutnya terbuka terhadap penggunaan senjata nuklir untuk menyelesaikan konflik regional.
Terkait perang di Ukraina, Lavrov mempertanyakan klaim mantan utusan khusus AS Kurt Volker bahwa Rusia akan menolak setiap kesepakatan damai. “Tidak jelas apa dasar pernyataan itu, karena pihak kami justru yang aktif mencari penyelesaian damai,” tegasnya.
Lavrov kemudian menyinggung Kanselir Jerman Friedrich Merz yang ingin memulihkan kekuatan militer negaranya, dengan mengingatkan bahaya kemunculan kembali ideologi masa lalu. “Jerman sudah pernah menjadi kekuatan militer ketika menaklukkan lebih dari setengah Eropa untuk menyerang Uni Soviet. Ketika gejala seperti ini muncul lagi di tanah kelahiran Nazisme, itu mengkhawatirkan,” ujarnya.
Dalam pembahasan lain, Lavrov menyatakan Venezuela belum meminta bantuan militer dari Rusia. Ia membenarkan adanya perjanjian kemitraan strategis dan kerja sama yang mencakup interaksi militer, namun kesepakatan itu masih belum aktif karena proses legislasi di Rusia belum rampung.
Lavrov juga mengecam pendekatan sepihak Washington dalam operasi anti-narkotika, menilai langkah tersebut melanggar norma hukum internasional. “Langkah yang diambil AS atas nama memerangi perdagangan narkotika dilakukan tanpa proses hukum dan bukti yang sah, menunjukkan negara yang bertindak di luar norma internasional,” ucapnya.
Dengan nada sindiran, ia menambahkan bahwa Washington sebaiknya memusatkan perhatiannya di wilayah asal peredaran narkoba. “Mereka sudah punya pasukan di Belgia dan anggota NATO di sana. Tidak perlu mengejar perahu kecil berisi tiga orang,” katanya.
Lavrov juga memperingatkan bahwa kebijakan AS terhadap Venezuela akan berdampak negatif, serta menanggapi ancaman Lituania yang berencana menghentikan transit ke eksklaf Kaliningrad. Ia menegaskan Moskow memiliki “argumen kuat” untuk menenangkan pihak Eropa.
Menjelang berakhirnya masa berlaku Perjanjian Persahabatan, Kerja Sama, dan Bertetangga Baik antara Rusia dan Tiongkok pada 16 Juli 2026, Lavrov memastikan kedua negara akan terus memperkuat hubungan.
“Kami akan memastikan kemajuan dan peningkatan kerja sama dengan mitra Tiongkok, dengan penanganan di bawah otoritas para pemimpin kami,” ujarnya.
Baca juga: Rusia Pastikan Tetap Patuhi Moratorium Nuklir, Siap Balas Jika AS Melanggar