Ilustrasi wilayah laut Indonesia. (MGN/Adhy Hendry)
Ferdian Ananda Majni • 27 July 2025 21:43
Jakarta: Konflik perbatasan bersenjata antara Thailand dan Kamboja yang kembali mencuat menjadi pelajaran penting bagi negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Konflik yang memuncak pada periode 2008 hingga awal 2010-an seputar Kuil Preah Vihear memperlihatkan kompleksitas sejarah, identitas dan kepentingan geopolitik di kawasan.
“Kejadian tersebut menyisakan pelajaran penting bagi banyak negara di kawasan Asia terutama Indonesia, yang memiliki batas darat dan laut dengan 10 negara tetangga,” kata Pengamat Perbatasan Negara sekaligus anggota Kelompok Ahli di Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Hamidin, seperti dikutip laman resmi BNPP, Minggu, 27 Juli 2025.
Kuil Preah Vihear yang menjadi pusat konflik memang telah diputuskan sebagai wilayah milik Kamboja oleh Mahkamah Internasional (ICJ) pada 1962. Namun, perbedaan penafsiran terhadap peta kolonial Prancis tetap memicu perselisihan. Ketika kuil tersebut ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO pada 2008, ketegangan militer kembali pecah.
“Sejarah bisa menjadi bahan bakar konflik apabila tidak dikelola secara transparan dan komprehensif oleh negara-negara yang terlibat,” ujar Hamidin.
Bagi Indonesia, kasus ini menjadi cerminan penting. Indonesia masih memiliki lebih dari 20 segmen batas darat yang belum disepakati dengan Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste. Di wilayah laut, sengketa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) juga menjadi tantangan besar.
“Penting bagi Indonesia untuk segera menuntaskan penegasan batas wilayah secara legal dan menyeluruh,” tegas dia.
Dia menyarankan dokumentasi digital terhadap peta dan arsip sejarah serta kerja sama bilateral sebagai pendekatan strategis, alih-alih klaim sepihak.
Hamidin juga menyoroti bahaya penggunaan kekuatan militer seperti yang terjadi antara Thailand dan Kamboja. Ribuan warga sipil menjadi korban, rumah-rumah hancur, dan kebencian tumbuh di daerah perbatasan. Oleh karena itu, Indonesia harus konsisten mengedepankan penyelesaian damai dan diplomasi.
“Pendekatan militer hanya boleh digunakan dalam konteks defensif, dan itu pun menjadi pilihan terakhir,” ucap dia.
Baca Juga:
Kronologi Lengkap Konflik Perbatasan Bersenjata Thailand-Kamboja |
Hamidin menekankan pentingnya peran ASEAN yang pernah tampil sebagai mediator saat konflik Preah Vihear. Dia menilai Indonesia, sebagai salah satu negara utama di ASEAN, perlu mendorong pendekatan multilateral dan memperkuat kapasitas diplomasi serta pemanfaatan lembaga internasional seperti Mahkamah Internasional.
Pelibatan masyarakat perbatasan juga dianggap krusial. Dia mengingatkan warga perbatasan sering menjadi korban provokasi dan kepentingan politik elit nasional.
“Mereka perlu diberdayakan melalui akses ekonomi, pembangunan infrastruktur dan pendidikan tentang dinamika batas negara,” jelas Hamidin.
Selain itu, dia mengajak untuk melihat warisan budaya sebagai peluang kerja sama, bukan konflik. Beberapa wilayah, seperti Pulau Sebatik dan komunitas adat lintas batas di Papua, dapat dijadikan contoh kolaborasi budaya lintas negara.
Dalam era digital, dia menekankan pentingnya edukasi publik yang akurat untuk mencegah penyebaran disinformasi yang bisa memperkeruh konflik.
“Perbatasan dapat menjadi ruang kolaborasi dan perdamaian, bukan hanya titik konflik,” ujar Hamidin.