Ilustrasi. Foto: dok MI/Panca Syurkani.
Husen Miftahudin • 28 April 2025 20:53
Jakarta: Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) meminta agar seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) terkait industri hasil tembakau (IHT) dilibatkan dalam penyusunan Peta Jalan (Roadmap) kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) periode 2026-2029.
Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI Henry Najoan berpandangan, pentingnya melibatkan stakeholders terkait akan memastikan keseimbangan yang inklusif dan berkeadilan antara aspek kesehatan, tenaga kerja lHT, pertanian tembakau dan cengkeh, peredaran rokok murah yang tidak jelas produsennya dan penerimaan negara melalui Peta Jalan (Roadmap) lndustri Hasil Tembakau 2026-2029.
Menurut Henry, IHT legal saat ini situasinya tidak sedang baik-baik saja. Maka itu, GAPPRI mendorong pemerintah tidak menaikkan tarif cukai dan HJE pada 2026 hingga 2028 agar IHT bisa pulih terutama dari tekanan rokok murah yang tidak jelas asal dan produsennya.
"Selama ini pungutan negara terhadap IHT kretek sudah mencapai 70 persen sampai 82 persen pada setiap batang rokok legal," kata Henry dalam keterangan tertulis, Senin, 28 April 2025.
GAPPRI mencatat, hambatan untuk kepastian berusaha IHT legal adalah adanya kebijakan cukai yang melemahkan daya saing IHT dan kenaikan cukai yang eksesif serta fluktuatif sehingga tidak ada kepastian usaha. Ia mencontohkan, kebijakan waktu pengumuman Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) yang kerapkali keluar pada akhir tahun sehingga menyulitkan dalam proses perencanaan bisnis.
"Keberadaan roadmap IHT diharapkan akan memberikan kepastian berusaha, iklim usaha yang adil, inklusif, dan kondusif bagi sepanjang rantai pasok IHT nasional. Roadmap IHT nantinya akan mengatur berbagai aspek, mulai dari tenaga kerja, nafkah petani tembakau dan cengkeh, devisa, serta pertumbuhan ekonomi," jelas dia.
GAPPRI juga mencatat, kebijakan kenaikan cukai multiyears periode 2023-2024 yang rata-rata kenaikannya 10 persen dinilai terlalu tinggi. Kenaikan ini mengakibatkan rokok, terutama golongan I, mengalami trade fall. Di sisi lain, situasi itu dimanfaatkan oleh produsen rokok murah yang tak jelas prosesnya untuk melebarkan pasar.
"Kebijakan 2023-2024 di atas nilai keekonomian, sehingga target penerimaan selalu tidak tercapai," terang Henry.
Baca juga: PP 28/2024 Bikin Industri Rokok dan Ritel Terancam |