Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) era Presiden Suharto, Fuad Bawazier. FOTO: DPD RI
Angga Bratadharma • 21 June 2023 15:46
Jakarta: Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) era Presiden Suharto, Fuad Bawazier mengungkapkan penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ternyata membuat marah Suharto. Bahkan Presiden Soeharto waktu itu meminta para pelaku untuk dikirim ke penjara Nusakambangan.
Hal itu diungkapkan Fuad dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panitia Khusus (Pansus) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di Jakarta. Sebelumnya, Pansus BLBI DPD mengundang Fuad Bawazier bersama Budi Hartono dalam RDPU tersebut.
Namun, Budi Hartono mengirimkan surat sedang berada di luar negeri dan mengaku tidak tahu menahu soal BLBI. Dalam rilis pers Pansus BLBI DPD, Fuad Bawazier mengaku agak tersentak mendapat undangan dari Pansus BLBI. Sebab hal itu adalah persoalan lama yang ia geluti langsung saat itu namun tak kunjung selesai hingga hari ini.
"Jujur saya capai melihat kasus ini kembali karena dari dahulu belum tuntas-tuntas. Saya pernah dipanggil oleh Komisi IX pada 9 Februari 2000," kata Fuad, dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu, 21 Juni 2023.
"Pada intinya dalam rapat itu saya menyampaikan jika tidak ada keseriusan dalam menangani kasus ini akan kandas di tengah jalan karena banyak faktor seperti politik, hukum, dan seterusnya," kata Fuad yang menjabat sebagai Menkeu di saat krusial yakni 16 Maret hingga 21 Mei 1998, saat BLBI dikucurkan untuk menalangi bank-bank yang bermasalah.
Kepada Pansus BLBI DPD RI, Fuad Bawazier mengaku pernah menulis surat kepada Presiden Soeharto untuk meminta tindak lanjut laporan dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dari Rp109 triliun penyaluran tersebut hampir 50 persennya diberikan kepada dua bank yakni BDNI dan Bank Danamon.
Dari jumlah itu, BDNI mendapatkan pinjaman sebanyak Rp27,6 triliun dan Bank Danamon sebanyak Rp25,8 triliun. Namun berdasarkan laporan dari Tim Audit Internasional, tambahnya, dilaporkan aset setelah pemeriksaan BDNI hanya Rp5,9 triliun dan Bank Danamon hanya Rp13,3 triliun.
"Jadi pada saat itu saja, hanya untuk dua bank tersebut pemerintah harus menanggung kerugian sebesar Rp85 triliun dari jumlah Rp48,2 triliun ditambah Rp37,3 triliun," papar Fuad Bawazier.
Dalam paparannya, Fuad Bawazier juga menjelaskan mengenai Obligasi Rekap (OR) BLBI yakni surat yang menyatakan pemerintah berutang kepada sejumlah bank, yang merupakan akal-akalan IMF agar neraca bank tampak positif. Salah satunya, Fuad menyebut, pemerintah memberi obligasi rekap sebesar Rp67 triliun.
Dengan OR BLBI ini pemerintah harus membayar bunga sebesar 10 persen setiap tahun hingga hari ini. "Obligasi rekap itu sebenarnya bunganya harus dihapuskan, karena bank ini sudah sakit dan ditolong pemerintah. Jadi menurut saya dihapuskan saja karena sudah cukup," kata Fuad Bawazier.
Ketua Pansus BLBI DPD RI Bustami Zainudin, dalam pernyataan usai RDPU, mengatakan sangat menghargai kedatangan Fuad Bawazier karena berarti menghargai upaya DPD untuk membuat seterang-terangnya masalah BLBI dan Obligasi Rekap BLBI.
Mengenai Rp110 triliun dana BLBI, menurut Bustami, hari ini sudah diurus oleh Satgas BLBI. Namun dari keterangan Fuad Bawazier sebenarnya ada yang masih bisa diperdalam yakni apakah kelakuan dua bank juga dilakukan oleh 54 bank lainnya.
"Pansus BLBI ingin menggali lebih dalam, dan terutama apakah hal tersebut juga berlaku pada bank-bank lainnya yang dalam surat tersebut terdapat 54 bank," pungkas Bustami.