Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. MI/Ebet
Media Indonesia • 26 December 2024 06:30
MUDAH menuding pihak lain bersalah. Gampang sekali menuduh orang lain sebagai biang ketidakberesan. Namun, pada saat yang sama, amat sulit mengakui bila sesungguhnya diri atau kelompoknya punya andil atas kesalahan atau ketidakberesan itu. Pada zaman yang semakin gila ini, perilaku semacam itu sepertinya kian kerap kita temui.
Menuding pihak lain memang menjadi cara paling mudah untuk lari dari tanggung jawab. Jurus itu juga cukup ampuh untuk mengalihkan fokus persoalan yang sebenarnya. Muncullah kemudian debat kusir, saling tuding, saling tuduh, saling menyalahkan antara pihak satu dan pihak lainnya. Ramai, riuh, gaduh, tapi substansi masalahnya teralihkan.
Makin menjengkelkan lagi kalau dalam narasi tudingan itu yang disalahkan ialah sosok yang tidak jelas, samar-samar, entah nyata entah sekadar rekaan. Ada yang pakai istilah 'tangan setan', tangan-tangan tak terlihat, mister XYZ, atau sebutan-sebutan lain yang intinya mengarah ke sosok yang misterius.
Saya tergelitik mengawali tulisan ini dengan pembuka di atas tadi lantaran baru-baru ini sosok 'tangan setan' kembali disebut-sebut, bahkan dipersalahkan. Yang mengucapkannya ialah Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer alias Noel saat menanggapi penolakan Mahkamah Agung atas pengajuan kasasi PT Sri Rejeki Isman (Sritex) terkait dengan pemailitan mereka.
Noel menduga dalam proses kepailitan Sritex tersebut ada 'tangan setan' yang bermain. Akan tetapi, seperti biasanya, para pejabat ketika dikejar pertanyaan wartawan, mereka menghindar, ngeles. Tak menjawab dengan gamblang, malah kadang melempar teka-teki tidak jelas.
Begitu pula Noel yang ketika ditanya siapa sosok 'tangan setan' itu, dia malah menjawab, "Nanti juga ketahuan, kok." Dia yang melempar, dia pula yang malah menyembunyikan. Aneh, bukan? Pemerintah, kok, malah berteka-teki dengan rakyatnya.
Ini mirip kejadian sekitar lima bulan lalu. Waktu itu Benny Ramdhani yang menjabat Kepala BP2MI tiba-tiba menyebut sosok inisial T sebagai pengendali judi online dan scamming di Indonesia. Faktanya, kosong. Cuma bikin gaduh pemberitaan dan dunia maya. Sosok T sampai sekarang tidak jelas, pun tanpa ada pertanggungjawaban dari pejabat yang melontarkan narasi itu.
Nasib si 'tangan setan' dalam perkara pailitnya Sritex ini tampaknya bakal sama dengan Mister T dalam kasus judi online. Sosok-sosok yang tidak jelas keberadaannya itu boleh jadi sengaja dimunculkan untuk menggeser fokus publik sekaligus menutupi akar persoalan yang sesungguhnya.
Kesulitan yang dialami pemain tekstil raksasa semacam
Sritex sehingga mereka digugat pailit oleh salah satu kreditur mereka dan kemudian dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang sejatinya merupakan puncak dari rentetan badai yang tak henti-henti menerjang industri garmen dan tekstil di Tanah Air.
Tekanan hebat, baik dari faktor domestik maupun global, terus mereka dapatkan. Mereka habis-habisan ditekan dari dalam oleh kenaikan biaya produksi, kenaikan upah minimum, daya beli masyarakat yang terus merosot, serta sejumlah kebijakan pemerintah yang justru memperlemah yang sudah lemah.
Apa contohnya? Ada kebijakan pemerintah yang membuka keran impor produk tekstil dan garmen seluas-luasnya. Kebijakan itu bahkan tidak cuma memperlemah, tapi membunuh industri dalam negeri karena produk mereka tak mampu bersaing dengan produk luar negeri yang dapat dengan bebas merajalela di pasar domestik.
Tak bisa disangkal. Faktanya memang seperti itu. Pemerintah loyo, industri pingsan, PHK terjadi di mana-mana. Karena itu, menjadi aneh kalau seorang pejabat pemerintah malah memilih menyalahkan 'tangan setan' ketimbang menggali solusi dari persoalan sebenarnya yang sudah terpampang di depan mata.
Eloknya, jangan gemar menuding. Jangan sering-sering berlindung di balik sosok anonim untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah membaca gejala sekaratnya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri. Tugas utama pemerintah ialah menyelamatkan industri. Sama sekali bukan tugas pemerintah untuk mencari kambing hitam. Kalau itu dibiasakan, kita khawatir nanti akan muncul pula tudingan kepada 'tangan hantu' atau 'tangan iblis' sebagai penyebab matinya industri.
Setop berlogika pendek. Mulailah berpikir holistis karena ancaman kematian industri yang dulu pernah jaya itu sudah semakin dekat. Dalam dua tahun terakhir ini saja ada 60 perusahaan tekstil gulung tikar dan sekitar 250 ribu karyawan terkena
PHK. Tanpa ada intervensi kebijakan pemerintah yang konkret, kata ekonom, diperkirakan 3 juta karyawan industri TPT akan menyusul kena PHK.
Situasinya sudah semenakutkan itu maka kiranya akan lebih baik kalau pemerintah fokus saja mencari jalan keluar agar industri TPT mampu melawan kematian.