Jakarta: Presiden Prabowo Subianto dinilai menunjukkan kearifan sebagai pemimpin nasional melalui keputusan memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto. Kebijakan itu dinilai sebagai upaya menyatukan bangsa di tengah polarisasi politik dan ketegangan global.
Pengamat politik Denny JA menyebut kebijakan tersebut sebagai "The News of The Year 2025" dan menyatakan bahwa keputusan Prabowo merefleksikan keberanian moral seorang pemimpin.
"Abolisi pun berlaku: proses hukum terhadap Tom dihentikan sepenuhnya, bahkan ketika vonisnya masih dalam tahap banding," kata Denny dalam keterangannya, Jumat, 1 Agustus 2025.
Tom Lembong yang merupakan mantan menteri perdagangan, sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus impor gula. Meski putusan masih dalam proses banding, Presiden Prabowo mengajukan abolisi yang kemudian disetujui DPR pada 31 Juli 2025.
Di sisi lain, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap dan perintangan penyidikan terkait Harun Masiku. Ia termasuk dalam 1.116 terpidana yang mendapat amnesti kolektif menjelang HUT ke-80 RI.
"Secara hukum, keduanya berbeda. Abolisi menghapus seluruh proses hukum. Amnesti menghapus hukuman, tetapi tidak membatalkan vonis," ujar Denny.
Namun Denny menilai, secara moral keduanya bertemu di satu titik. "Titik kearifan. Titik ketika negara memilih menyembuhkan, bukan melukai kembali," katanya.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri merespons langkah Prabowo. Ia memerintahkan seluruh kader partainya mendukung pemerintahan Prabowo.
"Bagi sebagian orang, ini kejutan. Bagi sejarah, ini adalah momen penting," kata Denny. "Seolah bangsa ini, yang selama ini penuh luka dan prasangka, perlahan belajar."
Denny menegaskan bahwa pengampunan bukan bentuk pelemahan hukum, melainkan kekuatan hukum yang hidup dan berpihak pada rekonsiliasi.
"Prabowo memilih menyalakan nyala kecil di tengah kabut: nyala rekonsiliasi. Ia tahu, pembangunan hanya tumbuh di tanah damai. Dan damai hanya tumbuh jika luka masa lalu tak terus diwariskan sebagai racun," ujar Denny.
Denny juga membandingkan kebijakan ini dengan praktik serupa di berbagai negara. Ia menyebut Truth and Reconciliation Commission di Afrika Selatan, amnesti Gerald Ford kepada penolak wajib militer di Amerika Serikat, dan kebijakan Presiden SBY kepada eks kombatan GAM.
"Setiap kali pengampunan diberikan, sejarah bertanya: adakah kebijaksanaan di baliknya, atau hanya kalkulasi kekuasaan? Jawabannya lahir dari ruang batin bangsa yang bersedia memeluk luka," kata Denny.