Pemimpin Junta Myanmar Min Aung Hlaing masih tetap berperan sebagai Presiden Myanmar. Foto: EFE-EPA
Fajar Nugraha • 1 August 2025 14:24
Yangon: Junta Myanmar serahkan kekuasaan kepada pemerintah sipil sementara. Sedangkan panglima tertinggi tetap menjadi pelaksana tugas Presiden. Pengumuman di media pemerintah menyatakan bahwa dekrit yang memberikan kekuasaan kepada militer setelah kudeta 2021 telah dibatalkan.
Militer Myanmar pada Kamis 31 Juli 2025 secara nominal mengalihkan kekuasaan kepada pemerintahan sementara yang dipimpin sipil menjelang pemilihan umum yang direncanakan, dengan panglima junta tetap bertanggung jawab atas negara yang dilanda perang tersebut dalam peran lainnya sebagai pelaksana tugas presiden.
Sebuah pengumuman di media pemerintah menyatakan bahwa dekrit yang memberikan kekuasaan kepada militer setelah kudeta 2021 telah dibatalkan dan pemerintahan sementara telah dibentuk bersama komisi khusus untuk mengawasi pemilihan umum.
Langkah ini tidak menandakan perubahan status quo di Myanmar, dengan pemimpin kudeta Min Aung Hlaing tetap memegang semua kendali utama kekuasaan sebagai pelaksana tugas presiden sambil mempertahankan posisinya sebagai panglima angkatan bersenjata.
“Keadaan darurat nasional yang diberlakukan sejak kudeta, yang seharusnya berakhir pada hari Kamis setelah tujuh kali perpanjangan, kini telah dicabut,” kata juru bicara pemerintah Zaw Min Tun, seperti dikutip Telegraph India, Jumat 1 Agustus 2025.
"Presiden sementara dan panglima tertinggi mengatakan enam bulan mendatang adalah waktu untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilu," ujar Zaw kepada media pemerintah.
Myanmar telah berada dalam kekacauan sejak kudeta terhadap pemerintahan sipil terpilih Aung San Suu Kyi menjerumuskan negara Asia Tenggara itu ke dalam perang saudara. Militer berjuang untuk meredam pemberontakan dan dituduh melakukan kekejaman yang meluas, yang dibantahnya.
Pemilu ini telah dianggap oleh pemerintah Barat sebagai tipu daya untuk memperkuat kekuasaan para jenderal dan diperkirakan akan didominasi oleh proksi militer. Kelompok-kelompok oposisi dilarang mencalonkan diri atau menolak untuk berpartisipasi.
David Mathieson, seorang analis independen yang berfokus pada Myanmar, mengatakan perubahan kekuasaan ini hanya sebatas kosmetik dan mereka yang bertanggung jawab akan terus bersikap kasar dan represif.
"Mereka hanya menyusun ulang hal-hal yang sama dan menyebut rezim itu dengan nama baru. Ini adalah bagian dari persiapan untuk pemilu yang belum banyak kita ketahui," ujar Mathieson.