Warga Palestina di Gaza Berhak Lebih dari Sekadar Bertahan Hidup

Warga Gaza berupaya bertahan di tengah serangan udara Israel. Foto: EFE-EPA

Warga Palestina di Gaza Berhak Lebih dari Sekadar Bertahan Hidup

Fajar Nugraha • 30 May 2025 09:23

Gaza: Israel meningkatkan serangan militernya di Gaza, awal bulan ini. Sementara para mediator mendorong gencatan senjata yang masih sulit dicapai.

Sigrid Kaag, Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah mengatakan kepada Dewan Keamanan pada Rabu 28 Mei 2025 mengatakan,  “Warga Palestina yang tinggal di Gaza berhak lebih dari sekadar bertahan hidup.”

Ketika perang Israel di sana memasuki hari ke-600, masalah bantuan menjadi fokus utama di tengah krisis kelaparan setelah Israel memberlakukan blokade penuh di Gaza selama lebih dari dua bulan, sebelum mengizinkan pasokan masuk sedikit demi sedikit minggu lalu.

"Sejak dimulainya kembali permusuhan di Gaza, keberadaan warga sipil yang sudah mengerikan semakin terpuruk. Ini buatan manusia," kata Sigrid Kaag, kepada DK PBB, seperti dikutip Anadolu, Jumat 30 Mei 2025.

"Kematian adalah teman mereka," lanjutnya menilai kehidupan warga Gaza saat ini.

"Itu bukan kehidupan, itu bukan harapan. Rakyat Gaza berhak mendapatkan lebih dari sekadar bertahan hidup. Mereka berhak mendapatkan masa depan,” ungkapnya.

“Bantuan yang kini berdatangan setara dengan sekoci penyelamat setelah kapal tenggelam," kata Kaag.

Kaag memperingatkan bahwa tidak akan ada "perdamaian berkelanjutan" di Timur Tengah tanpa solusi untuk konflik Israel-Palestina, seraya menambahkan bahwa Tepi Barat juga berada di "lintasan yang berbahaya".

Ia juga menyerukan tindakan kolektif untuk menghidupkan kembali solusi dua negara, dengan mengatakan bahwa konferensi internasional tingkat tinggi pada bulan Juni menghadirkan "peluang penting."

"Itu harus meluncurkan jalur konkret untuk mengakhiri pendudukan dan mewujudkan solusi dua negara," kata Kaag.

“Ketika berbicara tentang orang-orang di Gaza kata-kata empati, solidaritas, dan dukungan telah kehilangan maknanya. Kita tidak boleh terbiasa dengan jumlah orang yang terbunuh atau terluka. Mereka adalah anak perempuan, ibu, dan anak kecil yang hidupnya telah hancur. Semua punya nama, semua punya masa depan, semua punya mimpi dan aspirasi,” ujar Kaag.

‘Mengapa saya tidak mati’

Dewan Keamanan PBB juga mendengar kesaksian yang mengerikan dari seorang dokter bedah Amerika pada hari Rabu, beberapa minggu setelah kepulangannya dari Gaza.

"Saya di sini karena saya telah menyaksikan apa yang terjadi di Gaza dengan mata kepala saya sendiri, terutama pada anak-anak, dan saya tidak bisa berpura-pura tidak melihatnya. Anda juga tidak bisa mengaku tidak tahu," kata Dr. Feroze Sidhwa.

Sistem medis di Gaza tidak gagal, katanya. "Sistem itu telah dibongkar secara sistematis melalui kampanye militer berkelanjutan yang dengan sengaja melanggar hukum humaniter internasional."

“Anak-anak seharusnya dilindungi. Tetapi di Gaza, perlindungan itu hilang begitu saja,” ucap Sidhwa.

"Sebagian besar pasien saya adalah anak-anak pra-remaja, tubuh mereka hancur karena ledakan dan terkoyak oleh logam yang beterbangan. Banyak yang meninggal. Mereka yang selamat sering terbangun dan mendapati seluruh keluarga mereka telah tiada," kata Sidhwa.

"Menurut War Child Alliance, hampir setengah dari anak-anak di Gaza memiliki kecenderungan bunuh diri," kata Sidhwa.

"Mereka bertanya, mengapa saya tidak mati bersama saudara perempuan, ibu, dan ayah saya? Bukan karena ekstremisme, tetapi karena kesedihan yang tak tertahankan. Saya bertanya-tanya apakah ada anggota Dewan ini yang pernah bertemu dengan anak berusia lima tahun yang tidak ingin hidup lagi."

Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, menyalahkan Hamas atas situasi di Gaza.

"Ada penderitaan di Gaza, tetapi kesalahan ada di pundak Hamas, jadi mereka akan terus menderita sampai Hamas mengerti bahwa mereka tidak akan tinggal di Gaza," ucap Danon kepada wartawan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)