Donald Trump menunjukan daftar negara-negara dengan besar tarif yang dikenakan. (EPA-EFE/KENT NISHIMURA / POOL)
M Ilham Ramadhan Avisena • 10 April 2025 21:15
Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump memutuskan untuk menunda pemberlakuan tarif resiprokal yang sempat diumumkan. Penundaan itu berlaku selama 90 hari dan dalam periode tersebut tarif impor ke Negeri Paman Sam akan berlaku universal 10 persen.
Hanya Tiongkok yang dikecualikan dari penundaan tarif tinggi. Alih-alih ditunda, tarif impor dari Negeri Tirai Bambu ke AS justru ditambah menjadi 125 persen. Apa yang dilakukan oleh Trump dipandang mencerminkan kegelisahan Washington atas kebijakan tak biasa tersebut.
"Jeda 90 hari yang diberikan Trump sebenarnya mencerminkan kecemasannya bahwa ancaman tarif tinggi terhadap puluhan negara akan dianggap sebagai incredible threat, ancaman yang terlalu ekstrem untuk dipercaya dan justru memicu retaliasi kolektif," ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi, Kamis, 10 April 2025.
Menurutnya, penundaan selama 90 hari dilakukan oleh Trump dengan tujuan membuka ruang waktu bukan karena ingin berkompromi, tetapi karena ia tahu bahwa jika semua negara menolak tunduk, strateginya akan gagal total.
Oleh karena itu, negara-negara yang terancam, termasuk Indonesia, tidak seharusnya menanggapi jeda ini dengan sikap kompromistis berlebihan.
(Ilustrasi ekspor impor. Foto: Dok MI)
Indonesia disarankan bangun koalisi dagang
Sebaliknya, kata Syafruddin, Indonesia perlu menggunakan waktu ini untuk memperkuat posisi tawar, membangun koalisi dagang dengan negara-negara yang mengalami tekanan serupa, dan menyusun respons diplomatik yang berbasis resiprositas.
"Strategi terbaik adalah menunjukkan bahwa Indonesia tidak mudah ditekan, namun siap berdialog dalam kerangka yang adil. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya menghindari jebakan konsesi sepihak, tetapi juga mengambil peran aktif dalam membentuk tatanan perdagangan global yang lebih seimbang dan bermartabat," jelasnya.
Lebih lanjut, Syafruddin mengapresiasi pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mengatakan bakal memanfaatkan jeda 90 hari untuk menyusun kerangka kerja sama antara Indonesia dan AS. Itu pararel dengan upaya memperkuat ketahanan kawasan bersama negara-negara ASEAN.
Di tengah tekanan tarif sepihak dari Amerika Serikat, imbuh Syafruddin, Indonesia tidak hanya merespons secara bilateral, tetapi juga memilih membangun solidaritas regional sebagai upaya memperkuat posisi tawar kolektif.
"Kerangka kerja sama ini harus diwujudkan dalam agenda konkret, seperti penguatan rantai pasok regional, harmonisasi standar industri, dan perluasan pasar intraASEAN agar tidak berhenti pada retorika diplomatik," kata dia.
"Strategi ini merupakan langkah membentuk koalisi negara berkembang untuk menyeimbangkan kekuatan negara adidaya yang makin agresif. Jika dijalankan secara konsisten, Indonesia bukan hanya memperkuat daya tahan nasional, tetapi juga ikut memimpin transformasi ASEAN menjadi kekuatan ekonomi yang lebih mandiri, tangguh, dan dihormati dalam arsitektur global," ungkap Syafruddin.