Podium Media Indonesia: Menjaga Lisan

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar/MI

Podium Media Indonesia: Menjaga Lisan

Abdul Kohar • 10 September 2025 06:18

MENTERI Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memulai tugas sebagai menteri dengan 'heboh'. Saya agak maklum. Peraih gelar doktor di bidang ilmu ekonomi dari Purdue University, Indiana, Amerika Serikat, itu masih baru. Ia pasti butuh adaptasi.

Purbaya memang suka ceplas-ceplos. Sebagian orang yang dekat dengannya menyebut bahwa ia memang tipe percaya diri, jarang berbasa-basi, dan agak jarang disorot kamera. Karena itu, ketika ia dimintai tanggapan soal tuntutan 17+8, Purbaya menjawab secara 'apa adanya'.

Purbaya mengatakan, "Saya belum mempelajari itu, tapi basically begini, itu kan suara sebagian kecil rakyat kita. Kenapa, mungkin sebagian ngerasa keganggu, hidupnya masih kurang ya. Once saya ciptakan pertumbuhan ekonomi 6%, itu akan hilang dengan otomatis. Mereka akan sibuk cari kerja dan makan enak dibandingkan mendemo."
 

Baca: Usai Ganti Pemain Inti Tim Ekonomi

Pernyataan itu langsung membuat gaduh. Di jagat medsos, pernyataan itu memantik sejumlah komentar pedas. Ada yang menilainya nirempati, sombong, atau ada yang meminta agar ia belajar berkomunikasi ke publik.

Dalam situasi normal, dalam suasana ketika perdebatan dan pernyataan sepedas apa pun dianggap bagian dari demokrasi, pernyataan seperti itu memang tak terlalu dipersoalkan. Atau, bila yang menyampaikan pernyataan seperti itu ialah seorang akademisi, orang ramai memaklumi. Mereka akan bilang tak mengapa.

Namun, dalam kondisi dan hawa politik yang belum sepenuhnya mendingin, jawaban seperti itu dari seorang menteri tentu akan dipergunjingkan. Bahkan, bisa menjadi spekulasi liar. Orang akan berkomentar negatif. Mungkin pasar bisa saja merespons negatif untuk sementara.

Ucapan seorang menteri, atau pejabat yang punya otoritas dalam sejumlah hal, akan dianggap sebagai pernyataan yang sesungguhnya. Tak ada ruang untuk menyebutnya sebagai ‘hanya bercanda’, ‘cuma guyon’, ‘sekadar lelucon’, atau ‘gaya saya memang begitu’. Sebab, betapa banyak berhamburan kata yang disampaikan pejabat di mana pun di kolong langit ini yang berujung pada kegaduhan yang tidak perlu.

Beberapa tahun lalu, misalnya, saat Presiden Jokowi menyebutkan 'saatnya kita berdamai dengan covid-19' ketika Indonesia dilanda pandemi, sebagian orang punya persepsi berbeda atas ajakan itu. Sebagian orang tak peduli bahwa maksud pokok dari pernyataan itu ialah agar kita waspada, mengenali, menjaga agar tidak terkena. Sebagian orang mengartikan pucuk pimpinan di negeri ini sudah menyerah dalam perang melawan covid-19.

Pepatah klise lama 'mulutmu harimaumu' kiranya tak bisa dientengkan. Kalimat bijak kuno bahwa lidah memang tidak bertulang masih relevan adanya. Meski tidak bertulang, lidah dapat menjadi sesuatu paling tajam. Bahkan, tajamnya melebihi sebilah pedang. Tak sedikit orang yang mudah terluka karena omongan, karena lisan, atau karena jari-jari yang liar menari di medsos.

Untungnya, Purbaya menyadari itu. Saat serah terima jabatan menteri keuangan, kemarin, ia meminta maaf. Ia berjanji memperbaiki ucapan dan pernyataannya. Namun, tidak semua ucapannya salah sehingga mesti dihapus semua. Ada pernyataan Purbaya yang justru mesti diawasi, dibuktikan, untuk nantinya ditagih: membuat pertumbuhan ekonomi 6% hingga 7%.

Pertumbuhan itu, kata dia, bakal berbanding lurus dengan penyerapan pekerjaan, tersedianya lapangan pekerjaan, kecukupan pangan sehingga publik tidak perlu berdemonstrasi lagi. Ia bahkan menyebut tiga bulan lagi Indonesia bakal cerah. Itulah kalimat-kalimat yang bisa membangkitkan optimisme, tapi tetap mesti dinanti pembuktiannya.

Saat pengangguran terbuka masih lebih dari 7,2 juta orang, ketika mereka yang tidak bekerja penuh (seperempat atau setengah menganggur) bertambah dan lebih dari 25,7 juta orang, kala jumlah pekerja informal masih lebih dari 74,2 juta orang (57,2%), pernyataan Purbaya itu boleh dicatat tebal-tebal sebagai janji solusi. Janji itu, seperti pidato pertamanya di Kemenkeu, silakan ditagih saat sudah mulai dijalankan dalam hitungan bulan.

Semua target dan janji itu membutuhkan gaya berkomunikasi yang setara, tidak mendominasi, tidak memandang suara publik (walaupun jumlahnya kecil) sebagai sekadar objek. Dalam bahasa Jurgen Habermas, itu semua dirangkum dalam sebuah tindakan komunikatif. Tatanan sosial dan kerja sama antarindividu didasarkan pada pemahaman dan persetujuan bersama, bukan hanya pada kepentingan individu atau alat kekuasaan.

Dalam tindakan komunikatif, peserta berupaya mencapai kesepahaman dengan menggunakan argumen rasional dan berdasarkan empat klaim validitas: kebenaran (truth), ketepatan (rightness), kejujuran (sincerity), dan keterpahaman (comprehensibility).

Jadi, daripada nanti sering-sering meminta maaf karena 'keseleo lidah' atau 'hanya bercanda', jagalah lisan. Kata Ali bin Abi Thalib, "Jagalah lidahmu sebagaimana kamu merawat emas dan perak."

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Sholahadhin Azhar)