Putri Purnama Sari • 9 September 2025 18:02
Jakarta: Kasus tragis seorang ibu di Bandung yang meracuni kedua anaknya lalu bunuh diri menjadi sorotan publik. Tragedi ini tidak hanya menyisakan duka, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendasar, apa yang mendorong seorang ibu tega mengakhiri hidup anaknya sendiri?
Sebelum menjawab hal tersebut, fenomena ini rupanya bukanlah hal yang baru terjadi. Hal seperti ini dinamakan filisida atau tindakan orang tua membunuh anaknya. Sejak 1969, Psikolog Forensik Phillip Resnick mengklasifikasikan filisida ke dalam lima kategori.
5 Kategori Filisida Menurut Resnick (1969)
1. Altruistic Filicide
Ibu membunuh anak dengan keyakinan bahwa kematian akan menyelamatkan
anak dari penderitaan, misalnya karena hutang, kemiskinan, atau aib keluarga.
2. Acutely Psychotic Filicide
Dilakukan dalam kondisi psikotik, halusinasi, atau delusi, tanpa motif rasional.
3. Unwanted Child Filicide
Terjadi ketika anak tidak diinginkan sejak awal, sering ditemukan pada kasus bayi baru lahir (neonaticide).
4. Accidental Filicide
Terjadi akibat penganiayaan atau kekerasan berlebihan yang sebenarnya tidak ditujukan untuk membunuh.
5. Spouse Revenge Filicide
Dilakukan untuk melukai pasangan, misalnya karena perselingkuhan atau konflik rumah tangga.
Dalam kasus ibu di Bandung, evaluasi psikologi forensik diperlukan untuk memastikan kategorinya. Namun, indikasi kuat mengarah pada altruistic filicide. Motif diduga muncul dari distorsi kognitif dan perasaan putus asa ekstrem sebagaimana dijelaskan oleh Interpersonal Theory of Suicide (Joiner, 2005).
Faktor-faktor yang memperkuat kondisi ini meliputi:
- Hutang menumpuk dan tekanan ekonomi berat.
- Perasaan gagal menjalankan peran sebagai istri maupun ibu.
- Keyakinan keliru bahwa kematian adalah jalan untuk “menyelamatkan” anak dari penderitaan.
Tragedi ini mencerminkan betapa rapuhnya kondisi psikologis seorang ibu ketika berada di bawah tekanan ekonomi dan minim dukungan sosial.
Psikolog Klinis Forensik lulusan Universitas Indonesia A Kasandra Putranto mengatakan, fenomena filisida bukanlah kasus tunggal di Indonesia. KPAI (2024) mencatat sekitar 60 kasus filisida sepanjang tahun, atau rata-rata 5–6 kasus per bulan.
Terdapat enam kasus bunuh diri yang melibatkan anak sepanjang 2023 hingga awal 2024. Angka ini menunjukkan pola berulang, khususnya pada keluarga dengan tekanan ekonomi berat dan keterbatasan akses kesehatan mental.
Pentingnya Evaluasi Psikologi Forensik
Setiap kasus
filisida-suicide perlu ditangani melalui otopsi psikologi (psychological autopsy) agar penyebab kematian tidak hanya dipandang dari aspek hukum, tetapi juga sebagai kegagalan sistemik dalam penanganan kesehatan mental.
Evaluasi ini meliputi wawancara dengan keluarga atau saksi, analisis catatan medis, hingga rekonstruksi kondisi psikososial pelaku sebelum kejadian.
Dengan langkah ini, kasus tidak berhenti sebagai berita kriminal semata, melainkan menjadi dasar untuk intervensi preventif dan kebijakan kesehatan mental yang lebih kuat di Indonesia.