Pemerintah Inggris terus berkomitmen mendukung hak digital inklusif bagi penyandang disabilitas di Indonesia. (Kedubes Inggris di Jakarta)
Willy Haryono • 19 July 2025 16:15
Jakarta: Pemerintah Inggris melalui Digital Access Programme (DAP) bekerja sama dengan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) meluncurkan laporan riset mengenai aksesibilitas situs layanan publik pemerintah bagi penyandang disabilitas netra di Indonesia.
Acara peluncuran ini sekaligus menandai penutupan program bertajuk Inclusive Digital Rights: Strengthening the Rights of Women and People with Disabilities in the Digital Era yang telah berlangsung sejak Agustus 2024.
Program ini bertujuan untuk memperkuat hak digital bagi kelompok disabilitas dan perempuan, khususnya dengan mendorong akses yang lebih aman dan inklusif terhadap layanan digital publik.
Salah satu sorotan utama adalah pelibatan aktif komunitas disabilitas dalam pengembangan modul pelatihan hak dan keamanan digital, termasuk penciptaan Glosarium Bahasa Isyarat untuk mendukung komunitas Tuli.
Dengan dana hibah sebesar £38.000 (setara Rp835 juta), SAFEnet menggandeng Pusat Studi Disabilitas Universitas Hasanuddin dalam melakukan riset mendalam. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar situs layanan publik pemerintah belum memenuhi standar aksesibilitas global seperti Web Content Accessibility Guidelines (WCAG) 2.1 AA.
Salah satu pencapaian penting adalah pengembangan versi aksesibel situs pelaporan kekerasan berbasis gender, Awas KBGO, yang kini kompatibel dengan pembaca layar dan teknologi asistif lainnya.
Amanda McLoughlin, Minister-Counsellor for Development di Kedutaan Besar Inggris, menyatakan komitmen jangka panjang pemerintah Inggris untuk mendukung inklusi digital di Indonesia.
“Riset ini mencerminkan komitmen kami dalam mendorong pemanfaatan teknologi digital yang aman, inklusif, dan berkelanjutan—agar tidak ada yang tertinggal,” ujar McLoughlin dalam rilis Kedubes Inggris di Jakarta, 16 Juli 2025.
Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, menekankan bahwa pelibatan komunitas disabilitas bukan sekadar partisipasi simbolik. “Kami percaya bahwa transformasi digital yang adil harus dibangun bersama, dari bawah,” kata Nenden.
Para peserta program mengaku mendapatkan ruang aktualisasi yang nyata dan relevan.
“Ini adalah pertama kalinya pandangan kami benar-benar didengarkan,” ungkap Nabila May Sweetha, peserta tunanetra yang terlibat dalam pengujian situs web.
“Modul ini bisa jadi panduan yang dipimpin oleh komunitas Tuli sendiri,” tambah Christianto Harsadi, aktivis Tuli.
SAFEnet berharap hasil riset ini dapat menjadi dasar bagi pembuat kebijakan dan pengembang situs layanan publik untuk menjadikan inklusi digital sebagai standar, bukan pengecualian.
Baca juga: Hari Disabilitas Internasional, Refleksi Inklusifitas Sosial Bangsa