DKI Jakarta. Foto: Medcom.id.
Jakarta: Koordinator Perempuan Mahardhika Jakarta, Sarah, mengungkapkan bahwa perempuan di DKI Jakarta masih terjebak dalam ketidakpastian yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan. Mulai dari pencarian kerja, dunia akademik, hingga kehidupan sehari-hari.
Hal itu disampaikan Sarah dalam konferensi pers "Panggung Merdeka 100%". Menurut dia, hal itu tentunya menunjukkan bahwa kondisi perempuan masih sangat jauh dari kesetaraan dan perlindungan di dunia kerja maupun ruang publik.
"Kami menyadari bahwa perempuan, terutama perempuan muda, masih terjebak dalam ketidakpastian. Ketidakpastian ini dirasakan dalam mencari kerja, dalam hal akademik, dan dalam kehidupan sehari-hari," kata Sarah dikutip dari Media Indonesia, Sabtu, 16 Agustus 2025.
Dalam konteks lapangan pekerjaan, Sarah menilai bahwa banyak perempuan yang kesulitan mencari kerja di Jakarta. Meskipun Jakarta dikenal sebagai pusat ekonomi dan pusat berbagai kegiatan di Indonesia, realitasnya jauh dari gambaran tersebut.
"Walaupun branding-nya Jakarta ini sebagai pusat ekonomi, pusat segala sesuatunya di Indonesia, tapi realitanya banyak sekali perempuan yang kesulitan mencari pekerjaan yang layak," ungkap Sarah.
Akibat kondisi tersebut, banyak perempuan yang terpaksa bekerja di sektor informal, seperti menjadi
content creator,
freelancer,
host live TikTok, dan berbagai pekerjaan serupa. Namun, sektor ini tidak lepas dari permasalahan baru.
"Teman-teman yang terjebak dalam sektor informal itu juga mengalami eksploitasi digital, pelecehan berbasis gender secara
online dan sama sekali tidak ada perlindungan atau jaminan sosial," sebut Sarah.
Kondisi serupa juga terjadi pada buruh pabrik perempuan yang masih terus terjebak dalam sistem kerja eksploitatif. Jam kerja panjang, lembur yang tidak dibayar, hak maternitas yang diabaikan, hingga cuti haid yang tidak diprioritaskan menjadi keluhan rutin para buruh perempuan.
Bahkan, masih banyak buruh perempuan yang bekerja dengan sistem kontrak jangka pendek hingga saat ini. Mulai dari satu hingga tiga bulan.
"Mungkin ini sudah dianggap biasa dan normal oleh teman-teman buruh. Tapi bagi kami, ini bentuk ketidakpastian yang membuat mereka semakin rentan," ujar Sarah.
Selain itu, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) juga semakin nyata. Tentunya hal tersebut menimbulkan ketakutan bagi para pekerja, tidak hanya di sektor pabrik tetapi juga di perusahaan besar dan korporasi yang sebelumnya dianggap stabil.
Menurut dia, persoalan ini bukan sekadar soal upah atau kontrak kerja. Melainkan tentang hak atas pekerjaan yang layak dan rasa aman.
"Kepastian pekerjaan itu jauh dari realitas sehari-hari. Kemerdekaan pun menjadi makna yang tidak ada ketika teman-teman masih hidup dalam bayang-bayang ketakutan di-PHK, mengalami kekerasan seksual di ruang publik, di tempat kerja, bahkan di kampus," kata Sarah
"Bagi kami, kemerdekaan tidak hanya tentang terbebas dari penjajahan fisik, tapi juga dari rasa takut, dari eksploitasi, dari diskriminasi. Selama itu belum terpenuhi, kami belum bisa mengatakan bahwa perempuan di Indonesia telah merdeka," imbuh Sarah.