Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Guo Jiakun. (Antara)
Willy Haryono • 14 December 2025 09:45
Beijing: Pemerintah Tiongkok menegaskan tidak akan membiarkan kebangkitan militerisme Jepang maupun pengaruh kekuatan sayap kanan di negara tersebut. Pernyataan itu disampaikan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Guo Jiakun, dalam konferensi pers di Beijing pada Jumat lalu..
“Tiongkok tidak akan pernah membiarkan kekuatan sayap kanan Jepang memutar balik roda sejarah, tidak akan pernah membiarkan kekuatan eksternal mencampuri wilayah Taiwan milik Tiongkok, dan tidak akan pernah membiarkan bangkitnya kembali militerisme Jepang,” kata Guo Jiakun, dikutip dari Antara, Sabtu, 13 Desember 2025.
Pernyataan itu disampaikan di tengah meningkatnya ketegangan hubungan Beijing–Tokyo sejak 7 November 2025, setelah Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi menyatakan bahwa potensi aksi militer Tiongkok terhadap Taiwan dapat “menimbulkan situasi yang mengancam kelangsungan hidup Jepang.” Itu dipandang Beijing sebagai sinyal kemungkinan keterlibatan Pasukan Bela Diri Jepang dalam skenario konflik regional.
Guo Jiakun menyebut militerisme Jepang sebagai “musuh umat manusia” dan menegaskan bahwa Tiongkok akan bekerja sama dengan negara-negara dan masyarakat pencinta perdamaian untuk menjaga hasil kemenangan Perang Dunia II serta tatanan internasional pascaperang.
Tiongkok juga mendesak Jepang untuk memutuskan hubungan secara tegas dengan militerisme dan mengambil langkah nyata untuk menghilangkan bayang-bayang masa lalu tersebut. Menurut Guo, pemerintah Jepang selama bertahun-tahun dinilai memberi ruang bagi gerakan regresif sayap kanan.
“Beberapa perdana menteri dan tokoh politik Jepang telah berulang kali memberikan penghormatan di Kuil Yasukuni, tempat para penjahat perang dihormati,” ujarnya. Guo juga menyoroti sikap sejumlah politisi Jepang yang secara terbuka mempertanyakan Pernyataan Murayama.
Pernyataan Murayama, yang dikeluarkan mantan Perdana Menteri Jepang Tomiichi Murayama pada 1995, memuat penyesalan mendalam dan permintaan maaf atas penderitaan yang ditimbulkan oleh kolonialisme dan agresi Jepang selama perang.