Ilustrasi. Foto: Freepik.
Ade Hapsari Lestarini • 4 December 2025 18:01
Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi merevisi aturan penjatahan saham untuk Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering/IPO). Melalui Surat Edaran (SEOJK) No.25/SEOJK.04/2025 yang berlaku efektif per 17 November 2025, OJK mengubah sejumlah ketentuan penting guna memberikan kesempatan yang lebih luas dan adil bagi investor ritel.
Perubahan utama dalam alokasi saham untuk ritel
Salah satu perubahan paling signifikan adalah pada pembagian alokasi saham dalam "penjatahan terpusat". Aturan lama (SEOJK 2020) membagi porsi ritel dan nonritel dengan rasio 1:2. Artinya, dari setiap enam lot saham yang dialokasikan, investor ritel (pemesanan di bawah Rp100 juta) hanya mendapat dua lot (33,3 persen). Sementara investor nonritel (pemesanan Rp100 juta ke atas) mendapat empat lot (66,7 persen).
Melansir
Stockbit, dengan aturan baru, rasio tersebut berubah menjadi 1:1. Kini, baik investor ritel maupun nonritel mendapatkan porsi yang setara, yaitu masing-masing tiga lot (50 persen) dari setiap enam lot saham yang dialokasikan. Hal ini secara langsung meningkatkan peluang investor kecil untuk mendapatkan saham IPO.
Pembagian golongan IPO
OJK juga memperbarui penggolongan nilai IPO dan alokasi minimumnya. Aturan lama mengenal empat golongan, sementara aturan baru 2025 menambah menjadi lima golongan dengan kategori yang lebih detail.
Perubahan utama terlihat pada golongan terkecil. Kini, perusahaan dengan nilai IPO di bawah Rp100 miliar masuk ke dalam Golongan I dan harus mengalokasikan minimal 20 persen sahamnya untuk penjatahan terpusat, angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan aturan sebelumnya.
Berikut ringkasan perbedaan alokasi minimum berdasarkan golongan baru:
- Golongan I (IPO di bawah Rp100 miliar): minimal 20 persen.
- Golongan II (IPO Rp100 miliar-Rp250 miliar): minimal 15 persen.
- Golongan III (IPO Rp250 miliar-Rp500 miliar): minimal 10 persen.
- Golongan IV (IPO Rp500 miliar-Rp1 triliun): minimal 7,5 persen.
- Golongan V (IPO >Rp1 triliun): minimal 2,5 persen.
Ilustrasi. Foto: Freepik
Pembatasan baru
Selain perluasan kuota, OJK juga memperkenalkan batasan untuk mencegah dominasi oleh investor tertentu. Dalam aturan baru, setiap investor individu hanya diperbolehkan memesan maksimal 10 persen dari total nilai efek yang ditawarkan dalam IPO. Jika pesanan melebihi batas ini, maka akan ditolak secara otomatis oleh sistem. Ketentuan ini sebelumnya tidak diatur secara eksplisit.
Revisi aturan ini dinilai sebagai langkah positif untuk mendemokratisasi pasar modal. Dengan porsi yang lebih besar, diharapkan minat investor ritel untuk berpartisipasi dalam IPO semakin meningkat, yang dapat memperluas basis investor domestik. Namun, muncul pula kekhawatiran dari sebagian kalangan. Dengan saham IPO yang kini lebih terkonsentrasi di tangan banyak investor ritel, ada pertanyaan mengenai potensi dampaknya terhadap likuiditas dan pergerakan harga di awal perdagangan.
Kekhawatirannya, jika kepemilikan saham tersebar di banyak tangan ritel dengan strategi jual yang berbeda-beda, hal ini bisa membuat pergerakan harga menjadi kurang terarah dibandingkan jika terdapat pemain besar (nonritel) yang dapat memberikan sinyal permintaan yang lebih kuat. Imbasnya, potensi kenaikan harga saham di hari perdagangan perdana (
listing day) mungkin tidak sesignifikan sebelumnya.
Terlepas dari pro dan kontra, perubahan ini menandai babak baru partisipasi ritel di pasar modal Indonesia. Investor, baik pemula maupun berpengalaman, disarankan untuk memahami dinamika baru ini dalam menyusun strategi investasi pada saham IPO. (
Muhammad Adyatma Damardjati)