Pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia Titi Anggraini. Foto: MI/Tri Subarkah
Tri Subarkah • 13 December 2024 22:41
Jakarta: Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 menorehkan catatan dengan protest voter atau pemilih protes yang tinggi. Di sejumlah daerah, angka protest voter bahkan di atas 7 persen.
Protest voter dapat digambarkan sebagai pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Tapi, membuat surat suara menjadi tidak sah karena tidak memilih salah satu calon yang ditawarkan.
Menurut pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia Titi Anggraini pemilih protes lahir dari kesadaran masyarakat mengenai kondisi demokrasi dan politik Tanah Air yang sudah tidak kondusif. Salah satu bentuknya adalah kekecewaan masyarakat atas pencalonan kepala daerah terlalu dikontrol oleh segelintir elite.
"Masyarakat kita sebenarnya juga menangkap fenomena demokrasi dan politik hari ini. Contohnya, ini pilkada yang menyertakan ekspresi protest voting paling dominan," kata Titi dalam diskusi publik bertajuk Pikada 2024: Apatisme atau Normalisasi? di Komunitas Utan Kayu, Jakarta, Jumat, 13 Desember 2024.
Baca juga: MK Masih Buka Pendaftaran Gugatan Pilkada 2024 |