Uji Materi UU Pers, Ahli Sorot Perlindungan Hukum Wartawan

Hakim Mahkamah Konstitusi/Istimewa

Uji Materi UU Pers, Ahli Sorot Perlindungan Hukum Wartawan

M Sholahadhin Azhar • 10 November 2025 19:38

Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Regulasi tersebut diuji menggunakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Sidang perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo itu mendengar keterangan dari saksi dan ahli. Mereka dihadirkan Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) sebagai pemohon. Ahli hukum pidana Albert Aries, menilai norma dalam Pasal 8 UU Pers masih terlalu umum dan belum menjamin kepastian hukum.

“Dari analisis ahli, petitum tersebut cukup beralasan, karena norma dalam Pasal 8 UU Pers itu pengaturannya masih terlalu umum dan belum menjamin kepastian hukum, yaitu ‘dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum’,” kata Albert dalam sidang di gedung MK, Senin, 10 November 2025.

Menurut Albert, penjelasan perlindungan hukum dalam UU Pers, adala jaminan perlindungan dari Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan. Terutama, dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
 


Menurut Albert penjelasan Pasal 8 dalam UU Pers belum memberikan perlindungan secara spesifik kepada wartawan.

“Penjelasan dari Pasal 8 tersebut masih bersifat delegatif dan bergantung pada ‘peraturan perundang-undangan lain’, tanpa menyebut ketentuannya secara spesifik,” ucanya.

Ia menambahkan, ketentuan yang menyebut “jaminan perlindungan dari pemerintah dan masyarakat” bersifat delegatif dan bergantung pada peraturan lain tanpa ketentuan spesifik. 

Padahal, tujuan pembentukan UU Pers pascareformasi adalah menjamin kemerdekaan pers yang profesional, bebas dari campur tangan, dan mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan fungsi sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, serta pembentuk opini publik.

Albert juga menilai ketentuan yang seharusnya menjadi dasar perlindungan hukum bagi wartawan justru berada pada pasal lain, yakni Pasal 18 ayat (1) UU Pers yang mengatur larangan bagi siapa pun menghambat pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) tentang larangan penyensoran dan pembredelan.

Sebagai perbandingan, Albert menyebut profesi lain memiliki perlindungan hukum yang lebih jelas, seperti advokat dalam Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Pasal 26 UU Nomor 15 Tahun 2006, serta Ombudsman RI dalam Pasal 10 UU Nomor 37 Tahun 2008. Ketentuan tersebut memberikan imunitas hukum selama pelaksanaan tugas dilakukan dengan itikad baik.

“Profesi wartawan juga berhak atas imunitas profesi (beroeprecht) sebagaimana profesi lain yang diatur undang-undang. Namun, imunitas ini tidak boleh dimaknai sebagai impunitas,” kata Albert.

Menurut Albert, wartawan yang menjalankan profesinya dengan itikad baik sesuai Kode Etik Jurnalistik tidak seharusnya diproses hukum. Sebaliknya, wartawan yang melakukan pelanggaran seperti pemerasan, fitnah, atau tindak pidana lainnya tetap dapat diproses.

Albert menekankan pandangannya bukan bermaksud menjustifikasi oknum wartawan yang melakukan perbuatan melawan hukum. Misalnya, melakukan pembunuhan karakter seseorang lalu berlindung di balik mekanisme hak jawab, melainkan untuk memastikan bahwa di tengah era post truth, di mana setiap orang tanpa background yang jelas dapat menjadi ‘jurnalis’ dan bisa mempengaruhi masyarakat.

"Maka kehadiran insan pers yang profesional dan berintegritas masih diperlukan sebagai ‘jangkar’ dan ‘watchdog’ di tengah pusaran kekuasaan dan derasnya arus informasi,” kata Albert.

Hakim Mahkamah Konstitusi/Istimewa

Atas dasar itu, kata dia, permohonan a quo memiliki alasan untuk dikabulkan. Sebagaimana, prinsip postulat veritas servanda est, yang berarti semua pihak termasuk wartawan, adalah hamba kebenaran.

Di sisi lain, saksi pewarta foto dihadirkan dalam sidang tersebut. Saksi Muhammad Adimaja, pernah mengalami tindakan kekerasan fisik saat melakukan peliputan di kawasan Kwitang, Jakarta.

“Saya mengalami pemukulan secara brutal oleh oknum masyarakat di lokasi kejadian. Peristiwa itu bahkan sempat viral, ketika seorang wartawan menginformasikan bahwa saya dan rekan saya dikeroyok,” ujarnya di hadapan majelis hakim.

Adimaja menuturkan, ia tidak hanya mendapat intimidasi fisik, tetapi juga ancaman verbal. Ia menegaskan bahwa tugas pewarta foto adalah mengambil gambar sesuai fakta di lapangan, bukan sesuatu yang direkayasa atau diarahkan. 

Ia berharap perlindungan hukum bagi jurnalis dapat diperjelas agar peristiwa serupa tidak terulang. “Saat itu kami dianggap sebagai intel atau pelapor. Ada pula upaya untuk merebut kamera, kami dipukul menggunakan kayu, dan bahkan dipaksa jatuh,” tuturnya

Dalam permohonannya, Iwakum mempersoalkan Pasal 8 UU Pers yang dinilai multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Terutama, dalam memberikan perlindungan terhadap wartawan.

Pasal 8 UU Pers menyebut wartawan memperoleh perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya. Sementara itu, penjelasan pasal tersebut memaknai perlindungan sebagai jaminan dari pemerintah dan/atau masyarakat. 

Menurut pemohon, rumusan ini tidak menjelaskan secara konkret mekanisme perlindungan hukum yang seharusnya diterima wartawan saat menjalankan tugas jurnalistik.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(M Sholahadhin Azhar)