Podium MI: Pahlawan No Debat

Dewan Redaksi Media Gorup, Ade Alawi. Foto: MI/Ebet.

Podium MI: Pahlawan No Debat

Media Indonesia • 11 November 2025 05:36

SETIAP bangsa memerlukan hadirnya sosok pahlawan. Sosok yang menjadi anutan dalam perilaku kehidupan serta rela berkorban untuk bangsa dan negara.

Sosok itu selalu menjadi rujukan dalam setiap fase kehidupan bangsanya yang terus bergulir dari generasi ke generasi. Demikian pula ketika terjadi silang pendapat dalam suatu bangsa, apa yang terjadi pada bangsa hari ini, dan mau ke mana bangsa ini, rujukannya kepada nilai-nilai perjuangan sang pahlawan untuk bangsa.

Perjuangan seorang pahlawan ialah panggilan nurani. Pijakannya ialah nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Ia mampu mewariskan kebaikan bagi bangsanya.

Pengorbannya untuk bangsanya melampaui kepentingan dirinya, keluarganya, dan kelompoknya. Sang pahlawan hadir seperti diutus Tuhan untuk berjuang. Karena itu, tidak ada ketakutan pada dirinya, seperti takut miskin atau takut mati.

Ia pun tidak pernah memikirkan apakah suatu saat kelak bangsanya akan menuliskannya sebagai pahlawan atau tidak, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan atau tidak.

Namun, ia meyakini nilai-nilai perjuangannya yang melampaui zaman akan tertanam dalam bangsanya. Sebuah bangsa memang memerlukan tuntunan nilai dan etos dari para pendahulu sehingga sebuah bangsa tidak kehilangan jati diri, nilai-nilai, dan spirit perjuangan.

Baca juga: 

Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Golkar: Bentuk Penghormatan Jejak Pengabdian Bangsa


Alhasil, bangsa tersebut tidak akan bubar, dikendalikan atau dicaplok bangsa lain. Celakanya, apabila suatu bangsa masih berdebat apakah seorang tokoh layak diberi gelar pahlawan atau tidak, sebenarnya bangsa itu berada di persimpangan jalan.

Bangsa itu kebingungan memetik teladan dan hikmah kehidupan dari seorang pahlawan. Nilai-nilai kepahlawan tidak berasal dari angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi atau kemajuan secara fisik, tetapi sejauh mana bangsa tersebut memiliki semangat perjuangan, tidak mementingkan kepentingan diri, keluarga, konco, atau kelompok.

Bangsa yang berada di persimpangan jalan mengalami kebingungan nilai-nilai yang diperjuangkan secara kolektif. Akibatnya, di antara sesama anak bangsa tidak kunjung reda perdebatan tentang sebuah nilai. Krisis kepercayaan pun meruyak tidak saja bersifat vertikal, antara rakyat dengan penguasa, tetapi juga bersifat horisontal, antarsesama rakyat.

Aksi tipu-menipu terjadi karena mereka tidak peduli apakah yang dilakukan itu baik atau buruk. Mereka selalu menempatkan segala sesuatu secara prosedural atau administratif, bukan pada sikap etis, akal sehat, nurani, dan kebajikan untuk bangsa.

Manusia memang bukan malaikat. Ada kebaikan dan kesalahannya. Meskipun berkiprah dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan, di sisi lain, tokoh yang dinilai sebagai pahlawan itu ternyata menampilkan politik dasamuka dalam kepemimpinannya.

Ia bisa menampilkan citra human dengan kekhasan senyumnya, tetapi bisa memainkan politik 'tangan besi' dengan menggerakkan birokrasi dan militer untuk melanggengkan kekuasaannya.

Politik tangan besi melahirkan kekuasaan yang tidak bisa dikontrol. Tiga cabang kekuasaan (trias politika) sekadar ornamen politik. Dengan kekuasaan terpusat di tangannya praktik lancung pun mewabah. Pesta pora kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) tak tersentuh oleh hukum selama hampir tiga dekade.

Presiden kedua RI Soeharto. Foto: MI/Susanto.

Politik tangan besi sang rezim tak hanya menyebabkan KKN yang masif, sistematis, dan terstruktur, tetapi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat juga tak bisa dicegah. Kekuasaan berada di atas hukum.

Demikian pula kebebasan pers diberangus, sejumlah media diberedel. Kebebasan berserikat dan berkumpul juga dibatasi, bahkan bisa berujung penjara. Atas nama kamtibmas dilakukan unlawfull killing, seperti penembakan misterius (petrus).

Sang rezim tumbang karena people power. Amarah rakyat membakar panggung kekuasaan. Selanjutnya, rezim berganti hingga beberapa kali pascareformasi, tetapi mental yang diwariskan rezim tersebut, yakni KKN, tak pernah terkubur. Bahkan, praktik rasuah terus berkobar meskipun dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, yang belakangan malah dilemahkan.

Sosok kepahlawanan bisa lahir dari mana saja. Indonesia ialah negara yang lahir dari semangat kepahlawanan. Semangat rela berkorban untuk orang banyak meskipun nyawa menjadi taruhannya.

Rela berkorban untuk bangsa dan negara tanpa perlu merasa paling berkorban, apalagi menuntut gelar pahlawan nasional.

Anggota hansip Atim Suhara alias AS, 42, yang tewas tertembak saat berusaha menggagalkan pencurian motor di Jalan Pelajar, Cakung, Jakarta Timur, ialah sosok pahlawan di lingkungannya.

Dia bersama rekannya berani menghadapi pelaku curanmor meskipun nyawa menjadi taruhannya. Aksi pria dari keluarga sederhana itu menginspirasi banyak orang untuk tidak takut menghadapi kejahatan demi keamanan masyarakat.
Baca juga: 

Fadli Zon: Soeharto Hentikan G30S PKI hingga Perebutan Irian Barat


Kini, silang pendapat bergemuruh di masyarakat soal gelar pahlawan nasional untuk Presiden Ke-2 RI Soeharto. Ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu, Presiden Prabowo Subianto berkukuh memberikan gelar tersebut kepada mantan mertuanya itu.

Prabowo menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada 10 tokoh bangsa, di antarnya Soeharto, di Istana Negara, Jakarta, kemarin. Penganugerahan ini bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional 2025.

Polemik akan berakhir? Belum tentu. Seiring dengan menguatnya literasi, daya kritis, dan kesadaran sebagai bangsa besar, anak bangsa akan menilai mana tokoh yang layak dinilai sebagai pahlawan atau pengkhianat.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menyebutkan asas pemberian gelar itu berdasarkan kebangsaan, kemanusiaan, kerakyatan, keadilan, keteladanan, kehati-hatian, keobjektifan, keterbukaan, kesetaraan, dan timbal balik.

Dengan belajar dari sejarah, perjuangan ingatan melawan lupa, dan menatap arah Republik ke depan, anak bangsa akan memperkaya tindakan kepahlawanan untuk negeri mereka dengan berbagai cara.

Mereka juga akan berani melawan pengkhianat bangsa. Perlawanan terhadap orang-orang yang mengkhianati konstitusi, memperalat hukum dan demokrasi untuk tujuan jangka pendek.

Kelak, mereka akan mengikuti jejak founding father Bung Hatta yang menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Ia ingin selalu bersama rakyat sampai akhir hayat. Tabik!

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Anggi Tondi)