Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un menghadiri upacara peletakan karangan bunga di Mausoleum Ho Chi Minh di Hanoi, Vietnam, 2 Maret 2019. (EFE-EPA/JORGE SILVA/POOL)
Seoul: Seorang pembelot Korea Utara (Korut) menggugat Kim Jong Un atas tuduhan pelanggaran HAM, dalam kasus pertama yang diajukan langsung oleh warga negara asal Korut. Gugatan ini dilayangkan di Pengadilan Distrik Pusat Seoul dan Kantor Kejaksaan Seoul oleh Choi Min-kyeong, yang kini menjabat sebagai kepala Asosiasi Keluarga Korban Penahanan Korea Utara.
Melansir Korean JoongAng Daily dan BBC News, Choi mengajukan gugatan pidana dan perdata terhadap Kim Jong Un dan empat pejabat lainnya, termasuk anggota Kementerian Keamanan Negara.
Pemerintahan Korut dituduh melanggar Undang-Undang tentang Hukuman untuk Kejahatan dalam Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Pusat Dukungan Hukum HAM dari Pusat Basis Data untuk Hak Asasi Manusia Korea Utara (NKDB) menjadi pihak yang mengajukan berkas atas nama Choi.
Profil Singkat Choi Min-kyeong
Choi melarikan diri dari
Korea Utara pada 1997 dan sempat tinggal di Tiongkok hingga tahun 2008, ketika ia dipulangkan secara paksa ke Korut. Di sana, ia mengklaim menjadi korban pelecehan seksual, kekerasan fisik, dan penyiksaan selama lima bulan dalam tahanan.
Setelah tiga kali mencoba melarikan diri kembali dan gagal, ia akhirnya berhasil kabur untuk kelima kalinya pada Januari 2012 dan menetap di Korea Selatan pada Oktober di tahun yang sama. Choi juga mengungkap bahwa trauma psikologis akibat penyiksaan masih membekas hingga kini, dan ia masih bergantung pada pengobatan.
"Saya terdorong oleh rasa tanggung jawab untuk meminta pertanggungjawaban atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan rezim Kim," ujar Choi seperti dikutip dari JoongAng Daily, Rabu, 9 Juli 2025.
"Saya berharap langkah hukum ini menarik perhatian dalam dan luar negeri terhadap isu HAM di Korea Utara," tambahnya.
Dalam pernyataan terpisah yang dirilis NKDB, Choi menyebut gugatan ini sebagai langkah kecil yang diharapkan dapat menjadi dasar bagi pemulihan kebebasan dan martabat manusia warga Korut.
NKDB: Bukan Hanya Sekedar Ganti Rugi
Gugatan ini dinilai sebagai tonggak penting oleh NKDB. Ini merupakan kali pertama seorang warga
Korea Utara yang pernah mengalami langsung pelanggaran HAM mengajukan tuntutan hukum terhadap pemimpin negaranya sendiri.
NKDB juga menegaskan bahwa mereka akan mendorong agar kasus ini diangkat ke forum internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC), sebagai bagian dari upaya advokasi lebih luas terhadap korban pelanggaran HAM di
Korea Utara.
Direktur eksekutif NKDB, Hanna Song, menekankan bahwa gugatan ini signifikan karena memadukan tuntutan pidana dan perdata sekaligus. Selama ini, gugatan terhadap
Korea Utara biasanya terbatas pada litigasi sipil. Ia juga menyebut bahwa bagi para korban, keputusan pengadilan bukan hanya soal kompensasi finansial, tetapi juga pengakuan resmi atas penderitaan mereka.
"Yang paling dicari para korban bukan sekadar ganti rugi, melainkan pengakuan yang sah dari negara," tegasnya.
Langkah ini dipandang sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk menekan
Korea Utara melalui jalur hukum internasional. NKDB berharap bahwa upaya ini dapat menjadi preseden hukum dan moral, yang membuka jalan bagi korban-korban lain untuk bersuara dan mencari keadilan.
Sebelumnya, pengadilan Korea Selatan telah beberapa kali mengeluarkan vonis terhadap Korea Utara, termasuk putusan ganti rugi bagi tawanan perang dan pembelot asal Jepang-Korea yang menjadi korban program repatriasi.
Pada tahun 2023, pengadilan di Seoul memerintahkan
Korea Utara membayar 50 juta won (sekitar Rp590 juta) kepada tiga pria Korea Selatan yang dijadikan tahanan perang dan dieksploitasi. Setahun kemudian, lima pembelot asal Jepang-Korea juga memenangkan gugatan, masing-masing memperoleh 100 juta won dari pengadilan atas penderitaan mereka.
Namun, seluruh putusan itu tetap diabaikan oleh Pyongyang.