Pengadilan AS Tegakkan Kembali Tarif Trump, Sehari Setelah Dinyatakan Ilegal

Presiden Donald Trump mencium bendera AS. (Erik S Lesser/EPA)

Pengadilan AS Tegakkan Kembali Tarif Trump, Sehari Setelah Dinyatakan Ilegal

Riza Aslam Khaeron • 30 May 2025 03:55

Jakarta: Sehari setelah pengadilan perdagangan Amerika Serikat menyatakan tarif-tarif Presiden Donald Trump ilegal, pengadilan banding federal pada Kamis, 29 Mei 2025, mengabulkan permintaan pemerintah untuk menangguhkan sementara putusan tersebut.

Melansir The New York Times (NYT), penangguhan ini memberi waktu bagi panel hakim mempertimbangkan permintaan penundaan lebih lama dari pemerintahan Trump yang tengah mengajukan banding.

Putusan baru ini merupakan langkah administratif yang memungkinkan pemerintah mempertahankan tarif-tarif tinggi sementara proses hukum berjalan. Hal ini berarti Presiden Trump dapat tetap memberlakukan tarif terhadap China, Meksiko, dan Kanada untuk sementara waktu, serta mempertahankan ancaman tarif "resiprokal" terhadap lebih dari 60 negara.

Tarif-tarif ini dikenakan melalui UU IEEPA dengan tarif 30 persen untuk China dan 25 persen untuk sebagian besar produk dari Kanada dan Meksiko.

Sehari sebelumnya, Pengadilan Perdagangan Internasional menyatakan bahwa Trump telah menyalahgunakan Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA) untuk mengenakan tarif secara luas.

"Undang-undang itu tidak memberikan wewenang tanpa batas kepada presiden," tulis panel hakim bipartisan, termasuk satu yang diangkat oleh Trump sendiri, Washington, Rabu, 28 Mei 2025.

Pemerintahan Trump langsung mengajukan banding dan memohon bantuan darurat ke Pengadilan Banding Federal. Departemen Kehakiman menyebut putusan itu "penuh kesalahan hukum" dan memperingatkan bahwa pembatasan wewenang ini akan "menghambat upaya Trump untuk menghapus defisit perdagangan dan menyusun ulang ekonomi global secara adil."

Gedung Putih merespons keras.

"Mahkamah Agung harus mengakhiri ini demi Konstitusi dan negara kita," kata juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, Kamis, 29 Mei 2025. Ia menuduh hakim telah "dengan terang-terangan menyalahgunakan kekuasaan yudisial."
 

Baca Juga:
Pengadilan Federal AS Blokir Tarif Perdagangan Donald Trump

Di hari yang sama, Hakim Distrik Rudolph Contreras mengabulkan gugatan sebuah perusahaan mainan edukatif di Illinois dan menyatakan IEEPA "bukanlah undang-undang yang memberikan dasar hukum untuk mengenakan tarif." Namun ia menunda pemberlakuan putusannya selama 14 hari.

Sementara itu, Direktur Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih, Kevin Hassett, menyebut dampak keputusan pengadilan hanya sebagai "sedikit gangguan."

Ia mengatakan bahwa Trump masih memiliki instrumen hukum lain untuk menerapkan tarif jika diperlukan.

"Pada akhirnya, semua orang tahu Trump 100 persen serius, dan mereka juga tahu Trump selalu menang," ujar Hassett, Kamis, 29 Mei 2025.

Namun, sejumlah analis memperingatkan ketidakpastian yang ditimbulkan.

"Dalam jangka pendek, hal ini jelas mengacaukan negosiasi," kata William Reinsch, penasihat senior di Center for Strategic and International Studies.

"Mengapa negara lain harus bernegosiasi untuk menghindari ancaman yang telah dinyatakan ilegal?" tambahnya.

Di tengah kekacauan hukum ini, para pemimpin asing berusaha memahami dampaknya terhadap negosiasi dagang mereka dengan AS. Lebih dari selusin negara saat ini terlibat dalam perundingan aktif dengan Washington, termasuk Uni Eropa yang baru saja diancam tarif 50 persen jika gagal mencapai kesepakatan.

Menurut Ernie Tedeschi dari Budget Lab di Yale, jika tarif-tarif terberat Trump tidak bisa dipulihkan, tingkat tarif efektif AS akan turun dari 18 persen menjadi 7 persen, namun tetap menjadi yang tertinggi sejak 1969.

"Itu masih berdampak besar," katanya.

Meski belum bersifat final, keputusan pengadilan banding ini memperlihatkan dinamika tarik-ulur antara kekuasaan eksekutif dan yudisial, serta membuka jalan bagi kemungkinan Mahkamah Agung akan menjadi penentu akhir dalam nasib strategi dagang global Trump.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Surya Perkasa)