Dewi Sartika, foto: budaya.jogjaprov
Roni Kurniawan • 1 November 2025 19:21
Bandung: Di tengah hiruk pikuk modernisasi pendidikan, nama Dewi Sartika tetap bergema sebagai simbol kesetaraan dan keberanian. Lebih dari satu abad silam, perempuan kelahiran Cicalengka, Bandung, 4 Desember 1884 ini membuka jalan pendidikan bagi perempuan Indonesia melalui pendirian Sekolah Isteri pada 16 Januari 1904.
Menurut Tiwi Kasavela, Founder Komunitas Temu Sejarah Indonesia, pendirian Sekolah Isteri menjadi tonggak kesadaran bahwa perempuan berhak belajar dan berdaya.
"Dewi Sartika bukan hanya tokoh bersejarah, tapi simbol perubahan sosial. Ia memecah hambatan bagi perempuan yang sebelumnya sangat terbatas dalam bidang pendidikan," ujar Tiwi di Bandung, Sabtu, 1 November 2025.
Lahir dari keluarga bangsawan Sunda, Dewi Sartika kecil berkesempatan mengenyam pendidikan di Eerste Klasse School, sekolah Belanda yang jarang menerima murid perempuan pribumi. Pengalaman ini menumbuhkan kepedulian mendalam terhadap nasib pendidikan perempuan.
"Dewi Sartika menyaksikan langsung banyak perempuan pribumi yang tidak bisa sekolah, bahkan di lingkungan bangsawan. Dari sana tumbuh kesadaran bahwa perempuan jangan hanya mengurus rumah tangga, tapi juga harus berpengetahuan dan mandiri," jelas Tiwi.

SD SMP Dewi Sartika, salah satu jejak sejarah Pahlawan Pendidikan Dewi Sartika yang berada di Kota Bandung, Jawa Barat.
Dewi Sartika menghadapi tantangan ganda. Sistem patriarki yang membatasi ruang gerak perempuan dan penjajahan Belanda yang membatasi akses pendidikan pribumi. Namun, tekadnya tak surut. Dengan dukungan suaminya, Raden Kanduruan Agah Suriawinata, ia mendirikan Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung.
Sekolah ini awalnya hanya memiliki 20 murid dan mengajarkan keterampilan praktis seperti memasak, menjahit, membaca, menulis, dan berhitung. Kurikulumnya dirancang untuk memberdayakan perempuan agar mampu mandiri dan meningkatkan martabatnya.
"Dewi Sartika membantu perempuan untuk memperoleh pengetahuan, membangkitkan kesadaran bahwa pendidikan bukan milik laki-laki atau kalangan elit semata. Beliau itu pembuka jalan bagi pendidikan perempuan," tegas Tiwi.
Berkat ketekunan Dewi Sartika, Sekolah Isteri berkembang pesat. Pada 1910, sekolah ini pindah ke lokasi lebih besar di Jalan Ciguriang dan berganti nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri. Pada 1929, sudah ada sembilan sekolah serupa di Jawa Barat.
Perjuangan Dewi Sartika diakui pemerintah dengan gelar Pahlawan Nasional pada 1 Desember 1966. Pengakuan ini menegaskan kontribusinya tidak hanya untuk masyarakat Sunda, tetapi untuk seluruh bangsa Indonesia.
Meski kondisi pendidikan perempuan kini jauh lebih baik, Tiwi mengingatkan tantangan baru tetap ada. "Banyak guru sekarang perempuan, itu bagus sebagai bentuk representasi. Tapi dari sisi akses, belum semua perempuan bisa menikmati pendidikan layak, terutama di daerah terpencil," kata Tiwi.
Budaya patriarki masih membatasi sebagian perempuan. "Tak jarang setelah menikah, perempuan harus berhenti berkarier atau melanjutkan pendidikan. Padahal pendidikan seharusnya membuat perempuan berdaya dan berdampak," sambungnya.
Nilai perjuangan Dewi Sartika tetap relevan: keberanian, kesetaraan, dan kemandirian. "Beliau mendirikan sekolah di usia muda dan berjuang di tengah masyarakat patriarki dan kolonialisme. Itu menunjukkan keberanian luar biasa. Generasi muda sekarang juga perlu semangat yang sama," beber Tiwi.
Nama Dewi Sartika kini diabadikan di berbagai institusi pendidikan. Namun, Tiwi menekankan pentingnya menghidupkan nilai-nilai perjuangannya. "Bukan hanya soal nama, tapi bagaimana sekolah-sekolah itu menanamkan nilai perjuangan beliau akses yang merata, pendidikan karakter, dan pemberdayaan perempuan."
Sebagai pegiat sejarah, Tiwi berharap Bandung tetap menjadi pelopor pendidikan perempuan. "Perempuan muda perlu mengenal tokoh seperti Dewi Sartika agar punya identitas kuat dan merasa terhubung dengan perjuangan bangsanya," tutup Tiwi.
Warisan Dewi Sartika terus hidup melalui setiap perempuan Indonesia yang berani mengejar pendidikan dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Perjuangannya mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah hak setiap manusia, tanpa memandang gender.