Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward Omar Sharif Hiariej di Politeknik Pengayoman Indonesia, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Hukum, Tangerang.
Hendrik Simorangkir • 30 January 2025 19:10
Tangerang: Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional bakal berlaku pada 2026. Namun, terdapat satu tantangan besar yang menjadi visi dan misi KUHP, yakni mengubah paradigma hukum pidana.
"Karena KUHP mengubah paradigma kita dalam konteks hukum pidana, dan sampai sekarang ini kalau saya mau jujur, kita semua mau jujur, paradigma kita itu belum berubah. Tim penyusun Rancangan UU KUHP telah menyiapkan dua hal, yakni membentuk peraturan pelaksana dan melakukan sosialisasi KUHP nasional secara masif," ujar pria yang akrab disapa Eddy di Tangerang, Kamis, 30 Januari 2025.
Menurut Eddy, dalam menerima paradigma baru itu tidaklah mudah, karena orientasinya itu tidak lagi meletakkan hukum pidana sebagai lex talionis atau sarana balas dendam, melainkan KUHP Nasional menempatkan hukum pidana dengan tiga visi utama yang menjadi paradigma hukum pidana modern, yakni keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.
"Mengubah paradigma itu sulit, yang pertama menjadi sasaran itu adalah aparat penegak hukum, baru kemudian kita seluruh masyarakat Indonesia secara keseluruhan,” katanya.
Eddy menuturkan, selain memberikan tantangan dalam mengubah paradigma hukum pidana, juga menyita waktu puluhan tahun lamanya dalam proses pembuatannya. Jika dihitung sejak izin prakarsa di 1957 hingga disahkan pada akhir 2022, tercatat pembuatan KUHP berlangsung lebih dari 60 tahun.
"Tetapi kalau dihitung sejak rancangan pertama masuk ke DPR pada 1963, berarti lamanya pembuatan itu 59 tahun," ucap dia.
Eddy menjelaskan, waktu yang dibutuhkan dalam pembuatan KUHP tidaklah singkat, tetapi itu bukan sesuatu yang luar biasa. Karena, lanjutnya, tidak ada satu pun negara di dunia yang ketika terlepas dari penjajahan bisa menyusun KUHP dalam waktu singkat.
"Belanda yang hanya sebesar provinsi Jawa Barat, dia membutuhkan waktu 70 tahun untuk membuat Wetboek van Strafrecht (WvS). Jadi kalau kita 59 tahun itu sebetulnya tidak lama, meskipun dalam pembuatan UU kita itu termasuk sangat lama," jelasnya.
Eddy menambahkan, jika menyusun KUHP di negara yang multi etnis, multi religi, multi kultur seperti Indonesia itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyaknya perdebatan menjadikan UU itu sulit untuk dibentuk.
"Perdebatan itu memakan waktu berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Bahkan silang pendapat itu tidak hanya antara para pembentuk UU dengan masyarakat, perdebatan itu tidak hanya antara pemerintah dan DPR, tetapi perdebatan itu juga sengit memakan waktu antara kami para tim ahli penyusun KUHP," ungkapnya.