Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Keuangan (Korinbang) Rachmat Gobel. Foto: dok DPR
Husen Miftahudin • 21 September 2023 11:54
Jakarta: Wakil Ketua DPR RI Bidang Korinbang Rachmat Gobel mengingatkan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 89 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat, menjadikan APBN berlaku tak adil terhadap kemajuan kesejahteraan umum. Apalagi ini ada unsur investasi asing.
"APBN menjadi terikat secara permanen dan selamanya terhadap sebuah kegiatan badan usaha. Tentu APBN menjadi tak adil. APBN itu untuk kemaslahatan umum. Ini menjadikan Presiden Jokowi yang sudah memiliki sangat banyak legacy luar biasa dalam memimpin Indonesia menjadi bisa tercederai dan menimbulkan persepsi negatif," kata Gobel dikutip dari keterangan tertulis, Kamis, 21 September 2023.
Diketahui, pada 1 Oktober 2015, pemerintah mengumumkan Tiongkok memenangkan proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Tiongkok menang terhadap Jepang karena empat hal.
Pertama, tidak menggunakan dana APBN. Kedua, skema kerja sama business to business. Ketiga, tidak meminta penjaminan dari pemerintah. Keempat, biaya lebih murah, yaitu USD5,595 miliar dibandingkan usulan Jepang yang sebesar USD6,223 miliar.
Kemudian pada 16 Oktober 2015 dibentuk perusahaan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Perusahaan ini merupakan konsorsium BUMN dari Indonesia dan Tiongkok.
Sebelumnya, pada 6 Oktober 2015, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung, sebagai landasan hukum proyek kereta cepat ini. Konsorsium Indonesia dipimpin Wijaya Karya.
Pada 21 Januari 2016, Presiden melakukan groundbreaking di Walini. Namun acara ini tak dihadiri Menteri Perhubungan saat itu, Ignasius Jonan. Pada 2018, biaya membengkak menjadi USD6,071 miliar. Target 2018 selesai pun tak tercapai.
Pada 6 Oktober 2021 terbit Perpres 93/2021 yang mengamandemen Perpres 107/2015. Pimpinan konsorsium BUMN Indonesia beralih dari Wijaya Karya ke PT KAI. Rute pun beralih menjadi ke Padalarang. Aturan ini juga menyatakan bisa menggunakan dana APBN dan ada penjaminan dari pemerintah.
Empat faktor yang memenangkan Tiongkok membangun kereta cepat sudah dilanggar semua. Biaya pun membengkak lagi menjadi USD7,97 miliar . Saat ini, kereta cepat Jakarta-Bandung sedang dalam tahap uji coba dan akan segera diresmikan oleh Presiden.
APBN tersandera
Kini, Menteri Keuangan melahirkan Permenkeu 89/2023 yang membuat APBN menjadi tersandera. Permenkeu ini ditetapkan pada 31 Agustus 2023 dan mulai berlaku efektif pada 11 September 2023. Peraturan ini berisi 28 pasal dalam sembilan bab, yang mengatur penjaminan dan mekanisme penjaminan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Dalam permenkeu itu disebutkan yang menjadi penjamin adalah pemerintah bersama Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI) atau pemerintah saja, seperti disebutkan pada Pasal 6 ayat (13). BUPI ini adalah BUMN PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia. Penjaminan ini, seperti disebutkan pada Pasal 2, dilakukan dalam rangka memperoleh pendanaan karena kenaikan dan atau perubahan pembiayaan (cost overrun).
Pasal 10 ayat (7) menyatakan, "Penjaminan pemerintah melalui dokumen penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara penuh (
full guarantee), tanpa syarat (
unconditional), dan tidak dapat dicabut kembali (
irrevocable) serta mengikat penjamin sesuai dengan ketentuan dalam dokumen penjaminan."
Adapun untuk menjaga kecukupan modal BUPI maka 'pemerintah dapat memberikan penyertaan modal negara' kepada BUPI melalui dana
APBN. Ketentuan ini tertuang pada Pasal 11 ayat (1) dan (2).
Gobel mengatakan, ketika pemerintah melahirkan Perpres 93/2021 masih bisa dimengerti karena untuk mewujudkan dan menyelesaikan proyek kereta cepat yang sedang dalam tahap pembangunan.
"Walaupun itu menunjukkan ada sesuatu yang tak beres dalam perencanaan. Akibatnya, pemerintah melakukan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk KAI sebesar Rp7,5 triliun, yaitu pada 2021 sebanyak Rp4,3 triliun dan pada 2022 sebesar Rp3,2 triliun. Dana PMN ke KAI ini sepenuhnya untuk kereta cepat," terang Gobel.
Tapi kini, kata dia, pembangunan proyek kereta cepat sudah selesai sehingga segala biaya mestinya sepenuhnya berada dalam tanggung jawab badan usaha. "Jangan bawa-bawa APBN lagi, apalagi secara permanen," ketus Gobel.
Menurut dia, terbitnya Permenkeu ini membuat beban APBN menjadi lebih berat untuk menyelesaikan problem dasar yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia. APBN kita masih terbatas, sedangkan tugas dan tanggung jawabnya berlimpah.
"Mengapa dana APBN digunakan untuk menjamin kereta cepat yang dari awal dijanjikan tak melibatkan APBN serta tak begitu berkaitan dengan kebutuhan khalayak banyak, karena kereta cepat kan hanya untuk orang yang punya cukup uang saja?" jelas Gobel.
Gobel mengingatkan, apa yang ia sampaikan merupakan bentuk tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat dan sebagai warga negara. "Bukan tidak setuju terhadap kereta cepat. Dari awal saya sangat mendukung kereta cepat ini, tapi dukungannya dalam batas kewajaran dan kepatutan dalam konteks kemaslahatan publik yang luas. Jadi tak perlu berlebihan. Mestinya biarkan itu bersifat B to B saja," tegas dia.
Melalui Permenkeu tersebut, kata Gobel, dana APBN untuk kereta cepat bisa disalurkan melalui BUPI, KAI, maupun pemerintah langsung.
Baca juga: Jawa Barat Bersolek Jelang Pengoperasian Kereta Cepat 1 Oktober
Banyak kebutuhan yang lebih mendesak
Gobel mengatakan, saat ini Indonesia dihadapkan pada sejumlah hal yang butuh solusi segera. Pertama, mengatasi keterbatasan pasokan pangan akibat climate change dan naiknya harga pupuk serta kenaikan harga kebutuhan pokok.
Kedua, masih tingginya angka pengangguran sehingga butuh penciptaan lapangan kerja baru dalam jumlah besar. Ketiga, membangun UMKM Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing global. Keempat, masih tingginya angka kemiskinan dan angka stunting di Indonesia.
Kelima, Indonesia masih harus memperkuat kualitas sumberdaya manusia dan kapasitas kelembagaannya agar kemajuan yang sudah dicapai menjadi berkelanjutan. "Jadi ada isu pokok yang lebih strategis yaitu masalah kualitas sumber daya manusia, pemerataan ekonomi, masalah pangan, dan kelembagaan," sebut Gobel.
Lebih lanjut Gobel mengatakan, masalah pangan ini ada beberapa faktor penyebab. Pertama,
climate change. Perubahan iklim ini berdampak pada pertanian, seperti el nino yang menimbulkan kekeringan serta la nina yang mengakibatkan banjir.
Sejumlah negara yang selama ini menjadi
buffer Indonesia kala menghadapi keterbatasan pasokan beras justru tak akan melakukan ekspor, seperti Vietnam, India, dan juga Thailand. Mereka mengutamakan kebutuhan dalam negerinya.
Kedua, akibat perang Rusia-Ukraina berdampak terhadap melonjaknya harga pupuk, bahkan sempat mengalami kelangkaan pupuk. Hal ini berdampak pada kemampuan petani dalam membeli pupuk. Hal ini berakibat pada menurunnya produktivitas.
"Saat ini pemerintah berutang hingga lebih dari Rp20 triliun ke BUMN pupuk. Ini harus segera dibayar. BUMN pupuk bisa tertatih-tatih jika dibeginikan terus. Indonesia membangun industri pupuk yang mandiri karena kita negara agraris. Tapi jika diutangi terus lama-lama berat juga," ungkap Gobel.
Ketiga, masih belum maksimalnya penyediaan infrastruktur pertanian seperti bendungan, waduk, irigasi, pengering gabah, traktor, dan beragam alat pertanian modern lainnya. Negara-negara lain belajar modernisasi pertanian dari Indonesia, namun justru kini Indonesia yang tertinggal.
"Kita malah sekarang jadi importir beras. Saat ini saja harga beras mengalami lonjakan tertinggi dalam satu dekade ini. Biasanya naik cuma puluhan atau ratusan rupiah per kilogram. Kini bisa naik hingga Rp2.000 per kilogram."
"Pangan adalah fundamen ketahanan nasional. Karena itu memprioritaskan pembangunan pertanian merupakan hal mutlak. Namun kita mendapati 50 persen orang miskin adalah keluarga petani," sebut dia.
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB, kata Gobel, mengalami penurunan secara konsisten. Pada 1970 masih di angka 47,16 persen, namun pada 2022 menjadi 12,4 persen. Kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi, katanya, sebelum pandemi di kisaran 3-4 persen. Namun sejak pandemi hingga kini antara 1-2 persen.
"Hanya harus dicatat, saat puncak pandemi pada 2020, saat pertumbuhan ekonomi nasional mengalami negatif, sektor pertanian mampu di angka positif. Namun di saat sektor lain mampu bangkit, sektor pertanian justru stagnan, bahkan cenderung turun. Ini artinya butuh perhatian kita. Karena bukan hanya pertanian melibatkan orang banyak tapi juga ini menyangkut ketahanan nasional kita. Nah, APBN harus mengalir ke sini," tutur Gobel.
Fokus UMKM dan pertanian
Gobel mengatakan, sektor UMKM dan pertanian adalah dua sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar, yaitu lebih dari 97 persen. Kontribusi UMKM terhadap PDB sekitar 60,3 persen. Namun kontribusi UMKM terhadap ekspor masih 14,4 persen.
Hal ini berbeda dengan negara-negara anggota ASEAN. Kontribusi UMKM di negara-negara itu terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja lebih kecil daripada kontribusi
UMKM di Indonesia.
Namun kontribusi ekspor UMKM mereka lebih besar dibandingkan dengan UMKM di Indonesia, seperti Singapura yang 38,3 persen, Thailand yang 28,7 persen, bahkan Myanmar 23,7 persen.
"Jadi butuh kehadiran negara untuk mendukung sektor UMKM meningkatkan kontribusinya terhadap ekspor. Ini akan meningkatkan devisa dan sekaligus membangun kesejahteraan masyarakat. Masalah kemiskinan dan pengangguran pun lebih mudah diatasi. Dana APBN agar fokus ke sektor yang lebih menyangkut hajat hidup orang banyak. Bukan kereta cepat," kata Gobel.
Pilih saja untuk sejumlah sektor dan komoditas, misalnya mebel, herbal, hortikultura, dan handicraft tertentu. Pasar herbal dunia pada 2021 adalah USD151,91 miliar, namun Indonesia baru mengekspor USD41,5 juta.
Pada 2023, pasar mebel dunia mencapai USD766 miliar, namun pada 2022 Indonesia baru mengekspor mebel senilai USD2,5 miliar. Padahal Indonesia kaya bahan baku herbal maupun kayu.
"Karena itu, saat ini fokus Indonesia mestinya di sektor pertanian dan pangan, infrastruktur dasar, dan UMKM," tutup Gobel.