M Ilham Ramadhan Avisena • 21 September 2025 17:18
Jakarta: Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Beni Kurnia Illahi menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih menghadapi banyak pekerjaan rumah dalam memperbaiki tata kelola penyelenggaraan pemilu.
Sejumlah catatan muncul dari hasil pemilu 2024, mulai dari persoalan administrasi, keterwakilan perempuan, hingga yang paling anyar mengenai masalah transparansi dokumen pencalonan presiden dan wakil presiden.
Menurut Beni, penyelenggaraan pemilu seharusnya menjadi tolok ukur kinerja KPU sebagai lembaga utama dari tiga penyelenggara pemilu bersama Bawaslu dan DKPP. Namun, praktik di lapangan menunjukkan banyak kelemahan yang harus segera dibenahi.
"Berapa banyak kasus yang kemudian disampaikan ke Mahkamah Konstitusi yang pada prinsipnya banyak catatan-catatan bagi MK terkait dengan penyelenggaraan pemilu oleh KPU sendiri," ujarnya saat menyampaikan rilis pernyataan sikap penataan ulang kelembagaan pemilu #ResetKPU secara daring, Minggu, 21 September 2025.
Salah satu sorotan adalah putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah. Hal ini dinilai mencerminkan lemahnya ketelitian KPU dalam menjaga proses administrasi di setiap tahapan pemilu. Beni menegaskan, akurasi dan presisi harus menjadi fokus utama agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Selain itu, keterwakilan perempuan juga dinilai masih belum optimal. Ia menyinggung adanya daerah yang tidak memenuhi syarat minimal 30% calon legislatif perempuan. "Ini tentu saja harus dilakukan oleh KPU ke depannya, sehingga ini bisa mendorong keterwakilan perempuan di seluruh daerah di Indonesia," kata Beni.
Dia juga menyoroti keputusan KPU yang sempat mengecualikan dokumen pencalonan presiden dan wakil presiden dari akses publik. Keputusan tersebut kemudian dibatalkan, namun ia menilai langkah awal KPU itu janggal. Menurutnya, dokumen administrasi pencalonan harus terbuka agar masyarakat bisa menilai rekam jejak kandidat.
Di sisi lain, Beni menilai banyak peraturan internal KPU yang tidak sinkron dengan Undang-Undang Pemilu maupun UUD 1945. Meskipun secara hukum bersifat internal, substansi aturan KPU tetap harus selaras dengan norma konstitusional. Hal ini menjadi krusial agar setiap produk hukum KPU tidak justru melanggar payung hukum yang lebih tinggi.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya momentum revisi dan kodifikasi Undang-Undang Pemilu yang tengah digagas pemerintah bersama DPR. Menurutnya, momentum tersebut harus digunakan untuk memperbaiki kualitas manajemen, sumber daya manusia, hingga produk hukum KPU di masa depan.
"Sehingga prinsip-prinsip ataupun asas yang ada dalam konstitusi itu bisa terpenuhi oleh penyelenggara pemilu," pungkas Beni.