Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Medcom • 7 September 2023 18:59
"Hari ini kami ucapkan selamat tinggal kepada politik cebong dan kampret, yang merusak dan memecah belah bangsa. Mari bersama-sama ucapkan selamat datang Politik Kebhinekaan yang mempersatukan semua komponen kita dengan penghargaan pluralisme yang kokoh. Kita cinta negeri ini!"
Kalimat itu cukup singkat, namun mengandung makna yang kuat. Itu lah pesan tokoh negarawan Surya Paloh dalam deklarasi pasangan bacapres-bacawapres Koalisi Perubahan Untuk Persatuan, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, akhir pekan lalu di Surabaya, Jawa Timur. Pesan itu begitu mengena, menjelang datangnya tahun politik 2024.
Polarisasi Masyarakat yang sangat terasa pada Pilpres 2019 diharapkan tidak terulang pada pilpres tahun depan. Politisi diharapkan berpolitik secara dewasa, mengedepankan politik gagasan dan menawarkan program, bukan memainkan isu politik identitas.
Sejatinya, demokrasi pasti menghasilkan perbedaan. Perbedaan dalam pandangan, perbedaan dalam gagasan, perbedaan arah dukungan. Namun esensi demokrasi adalah glorifikasi. Yaitu glorifikasi sikap mental sebuah masyarakat yang menerima perbedaan sebagai prasyarat hidup Bersama. Masyarakat yang bersepakat, untuk tidak sependapat.
Saat demokrasi disepakati menjadi landasan sistem politik, keterlibatan Masyarakat mutlak menjadi syarat. Berbagai perbedaan pandangan itu pun mengkristal sebagai kontestan pemilu. Masing-masing kontestan mewakili cara pandang, gagasan, dan program yang berbeda dalam mengelola negara.
Mungkin ada kontestan yang ingin pajak diturunkan. Kontestan lain bisa jadi justru ingin pajak dinaikkan. Mungkin ada kontestan yang ingin fokus pada pengembangan pertanian, atau ada yang menawarkan program industri padat karya. Semua tentu sah-sah saja, selama tidak bertentangan dengan ideologi bangsa, Pancasila.
Namun bila ada yang memanipulasi perbedaan politik, ketentraman Masyarakat jadi terusik. Perbedaan yang mestinya diterima sebagai sebuah keniscayaan, dikobarkan untuk memantik perselisihan. Dampaknya, demokrasi dituding mengancam persatuan dan kesatuan.
Kita di Indonesia mengenal istilah politik adu domba sebagai strategi kolonial Belanda. Tujuannya, untuk menguasai Nusantara. Konon strategi yang sama juga diterapkan para conquistador dari spanyol. Filsuf Italia Machiavelli menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Tidak heran Machiavelli menilai politik adu domba adalah strategi efisien bagi kelompok politik yang ingin mendominasi.
Kekuatan besar mudah ditaklukkan, jika dipecah dalam kelompok kecil. Pelaku politik adu domba harus mampu membelah dan mempertahankan pembelahan dalam komunitas-komunitas yang berlawanan. Caranya dengan mempertentangkan nilai dan identitas.
Menyadari potensi politik adu domba, Presiden Joko Widodo akhir tahun lalu mengajak seluruh anak bangsa untuk mengawal pemilu yang berintegritas, menolak fitnah, ujaran kebencian, dan politik uang.
Kita sebagai bangsa sudah melihat langsung dengan mata kepala, apa dampaknya bila politik dilakukan tanpa etika. Kompetisi demi meraup simpati, membuat Masyarakat terpolarisasi.
Saksikan diskusi kebangsaan dengan tema 'Setop Politik Adu Domba' dalam program Visi Negarawan di Metro TV, Jumat 8 September 2023 PUKUL 21.30 – 22.30
Menghadirkan narasumber Wakil Presiden ke-10 dan 12 Indonesia Jusuf Kalla, Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) UIN Jakarta Gun Gun Hariyanto, dan Cendikiawan Sukidi.
Penulis: Mahendro Wisnu (Produser Program Visi Negarawan Metro TV).