Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Jakarta: Penerapan hukuman mati di Indonesia kembali menuai sorotan. Hukuman mati dinilai tidak efektif dalam mengurangi angka kejahatan.
“Sejak 1979 kami menuntut penghapusan hukuman mati karena hukuman mati dari segala sisi tidak memberikan dampak, dan juga tidak mengurangi angka kejahatan,” ujar praktisi hukum Todung Mulya Lubis, dalam keterangan tertulis, Kamis, 6 Juli 2023.
Todung menegaskan menolak hukuman mati dalam kasus apa pun dan kepada siapa pun. Menurut dia, perubahan pidana mati dalam Pasal 100 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru merupakan langkah positif dari sejarah panjang Indonesia yang menolak penghapusan pidana mati.
Dia menyampaikan setiap orang yang sudah dihukum mati tidak bisa dihidupkan kembali, padahal mereka belum tentu pelaku tindak pidana sebenarnya. Hal ini yang banyak terjadi di berbagai negara.
Dia menegaskan perlu kebijakan yang bisa dijadikan rujukan bagi semua aparat penegak hukum dalam menghadapi kasus pidana mati.
Dalam KUHP baru, pidana mati diatur sebagai pidana yang bersifat khusus dan diancam secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun.
Selain itu, pidana mati kini dijatuhkan dengan masa percobaan 10 tahun bergantung pada sikap dan perbuatan terpidana. Selama masa percobaan terpidana mati memperoleh kesempatan agar hukumannya dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup.
Kekosongan Hukum
Dia juga menilai ada kekosongan hukum mengenai pengaturan pidana mati yang berpotensi menimbulkan polemik. Khususnya, soal keberlakuan KUHP baru bagi terpidana mati yang divonis berdasarkan Wetboek van Strafrecht.
Todung melihat urgensi kebijakan perantara untuk mengakomodasi kekosongan dalam implementasi pelaksanaan hukuman mati, tidak harus mengorbankan sesuatu. Penerapannya harus lebih adil dan manusiawi.
Sementara itu, Partner di LSM Law Firm Leonard Arpan Aritonang menilai kekosongan hukum aturan pidana mati bagi terpidana sebagai urgensi kebijakan perantara.
"Kekosongan pengaturan perlu dilengkapi dengan memberi kesempatan yang sama kepada terpidana mati yang tidak mengajukan grasi untuk tetap memperoleh komutasi jika ia tidak dieksekusi bukan karena melarikan diri," ujar dia.
Komutasi alternatif dalam Pasal 101 KUHP baru hanya berlaku terbatas. Yakni, bagi terpidana mati yang memutuskan untuk menggunakan haknya untuk mengajukan grasi yang kemudian ditolak.
Leonard mengingatkan pro kontra terkait pidana hukuman mati jangan sampai menghukum orang yang tidak pantas dihukum.
Di samping itu, Hakim Agung Ketua Kamar Pidana, Yohanes Priyana, berpendapat tidak ada kekosongan hukum dalam aturan pidana mati. Jika suatu perbuatan belum berkekuatan hukum tetap dan dinyatakan bukan lagi perbuatan pidana, terdakwa harus dikeluarkan.
Menurut dia, ketentuan ini diatur dalam KUHP baru. Sehingga, tak ada lagi kekosongan hukum.
"Hukuman mati berlaku sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru karena hal itulah yang menguntungkan bagi terpidana, sehingga tidak ada kekosongan dan kevakuman hukum," jelas dia.