Warga asing yang masuk tanpa visa AS akan dipantau melalui media sosial. Foto: Anadolu
Muhammad Reyhansyah • 11 December 2025 12:33
Washington: Pemerintah Amerika Serikat (AS) tengah mempertimbangkan aturan baru yang dapat mewajibkan warga asing yang masuk tanpa visa untuk menyerahkan informasi media sosial, akun surel, serta riwayat keluarga secara lebih rinci sebelum perjalanan mereka disetujui. Rancangan perubahan tersebut diuraikan dalam pemberitahuan resmi yang dipublikasikan di Federal Register.
Otoritas Bea dan Perlindungan Perbatasan (CBP) mengusulkan pengumpulan data media sosial selama lima tahun bagi pelancong dari sejumlah negara yang mengikuti Visa Waiver Program (VWP).
Mereka biasanya mengajukan permohonan melalui Electronic System for Travel Authorization (ESTA), yang melakukan penyaringan otomatis tanpa mewajibkan wawancara di kedutaan atau konsulat, berbeda dengan pemohon visa reguler.
Kementerian Keamanan Dalam Negeri (DHS), yang mengelola program tersebut, saat ini mengizinkan warga dari sekitar 40 negara di Eropa dan Asia untuk berkunjung ke AS selama tiga bulan tanpa visa, baik untuk bisnis maupun pariwisata.
Selain data media sosial, CBP juga berencana meminta daftar nomor telepon yang digunakan pemohon dalam lima tahun terakhir dan alamat surel yang digunakan selama satu dekade terakhir.
Otoritas juga menginginkan metadata dari foto yang dikirimkan secara elektronik, serta informasi keluarga secara detail, termasuk tempat lahir dan nomor telepon anggota keluarga. Formulir ESTA saat ini hanya menanyakan data dasar seperti nama orang tua dan alamat surel aktif.
Ketika ditanya dalam sebuah acara di Gedung Putih apakah kebijakan ini dapat berdampak pada sektor pariwisata, Presiden Donald Trump menjawab tidak.
“Kami ingin keamanan, kami ingin keselamatan, kami ingin memastikan bahwa kami tidak membiarkan orang yang salah masuk ke negara kami,” ujarnya seperti dikutip France24, Kamis, 11 Desember 2025.
Masyarakat memiliki waktu 60 hari untuk memberikan tanggapan sebelum aturan tersebut diberlakukan. CBP menegaskan bahwa kebijakan ini belum final.
“Tidak ada perubahan sejauh ini bagi mereka yang datang ke Amerika Serikat. Ini bukan aturan final, melainkan langkah awal untuk membuka diskusi mengenai opsi kebijakan baru demi menjaga keselamatan rakyat Amerika,” tulis pernyataan CBP.
Agensi itu juga menyebut bahwa peningkatan pemeriksaan merupakan bagian dari respons atas serangan yang menargetkan Garda Nasional di Washington DC menjelang Thanksgiving.
Pemberitahuan tersebut tidak merinci informasi apa yang dicari pemerintah dari akun media sosial maupun alasan permintaan data tambahan itu. Namun CBP menyatakan langkah tersebut sesuai dengan perintah eksekutif yang ditandatangani Trump pada Januari, yang menuntut penyaringan lebih ketat terhadap semua pendatang guna mencegah ancaman keamanan nasional.
Negara-negara yang tidak termasuk dalam program VWP sudah lebih dulu diwajibkan menyerahkan informasi media sosial, aturan yang berasal dari masa pemerintahan Trump pertama dan tetap diberlakukan di era Presiden Joe Biden. Namun warga dari negara bebas visa sebelumnya tidak diwajibkan melakukannya.
Sejak Januari, pemerintah memperketat pemeriksaan terhadap imigran dan pelancong, baik mereka yang ingin masuk maupun yang sudah berada di AS. Pemohon visa kini harus mengatur akun media sosial mereka ke mode publik agar dapat diperiksa lebih mudah; penolakan untuk melakukannya dapat menjadi dasar penolakan visa sesuai pedoman Departemen Luar Negeri.
Layanan Kewarganegaraan dan Imigrasi AS kini juga mempertimbangkan apakah pemohon manfaat imigrasi termasuk kartu hijau pernah “mendukung, mempromosikan, atau menyuarakan” pandangan anti-Amerika, ekstremisme, atau antisemitisme.
Peningkatan pemeriksaan media sosial ini memicu kekhawatiran dari kelompok advokasi imigrasi dan kebebasan berpendapat, yang mempertanyakan tujuan pemeriksaan tersebut serta potensi penyalahgunaannya terhadap individu yang mengkritik pemerintah, sehingga dapat berujung pada pelanggaran kebebasan berpendapat.