Sistem keamanan digital. Foto: MI.
Jakarta: Sistem layanan digital di Indonesia masih rawan terkena serangan siber, termasuk perbankan. Beberapa bank dinilai belum menerapkan sistem keamanan siber yang mumpuni.
Salah satu kendalanya adalah soal biaya tinggi. Baik pelaku bisnis industri keuangan maupun perbanan menganggap hal tersebut masih baru. Lisensi untuk keamanan siber dianggap sebagai biaya atau
cost.
"Jadi hal ini dianggapnya sebagai biaya atau cost. Sedangkan pola pikir yang perlu ditanam adalah investasi," ujar VP Business Development PT Privy Identitas Digital (Privy) Rony Tanrim, dikutip keterangan tertulis, Jakarta, Sabtu, 3 Agustus 2024.
Rony menekankan bisnis di industri keuangan atau perbankan merupakan bisnis yang berdasarkan kepercayaan terhadap para nasabahnya. Reputasi mereka sangat dipertaruhkan jika keamanan data nasabah tidak terlindungi dengan baik.
dua hal harus dpenuhi industri perbankan
Oleh sebab itu, Rony menyarankan ada dua hal yang perlu dilakukan industri perbankan. Memiliki ISO 27001 dan satu Data Center (DC), serta satu Disaster Recovery Center (DRC) untuk memperkuat keamanan siber.
ISO yang terkait dengan sistem informasi dan data privasi menjadi kekuatan dari dalam suatu bisnis. Sementara DC dan DRC sebagai langkah mitigasi risiko dan keamanan dalam proses digitalisasi.
"ISO itu bukan hanya bapak ibu datangkan untuk perusahaan bapak ibu semua, tetapi menjadi back power yang bekerja di dalam itu harus melakukan benar-benar secara disiplin semua suggestion atau pelaporan ceklis dari ISO tersebut yang pertama,” kata Rony.
Sementara DRC ibarat seperti mesin genset. Jika sistem terserang, bisa dengan cepat pulih kembali. Nasabah tidak perlu khawatir akan keamanan datanya.
"Digital harus ada obatnya. Obatnya adalah harus waspada dan Privy bisa bantu semua itu untuk memberikan keamanan dan kenyamanan di bidang keahlian kami. Jadi produk kami ada e-KYC, Digital Signature, dan e-Materai,” ucap Rony.