Formula Hitungan UMP Rugikan Pekerja

Ilustrasi. Foto: Medcom.id

Formula Hitungan UMP Rugikan Pekerja

Media Indonesia • 22 November 2023 19:45

Jakarta: Formula Upah Minimum Provinsi (UMP) yang ditetapkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan banyak menguntungkan pemberi kerja, alih-alih penerima kerja atau buruh. Rentang angka indeks tertentu atau alfa (a) dalam formula penghitungan terlalu kecil jika dijadikan sebagai pengali.

"Kelemahan model (formula penghitung UMP) itu, ditambah dengan alfa, maka ada pengurangan yang besar sekali," ucap Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad saat dihubungi, Rabu, 22 November 2023.

Karenanya, dia tak heran melihat banyak provinsi yang menetapkan kenaikan UMP dengan nominal rendah. Meski penetapan kenaikan ditentukan oleh Gubernur, namun penghitungan kenaikan dikunci oleh a yang ditentukan oleh Kemnaker.

"Memang ini ditetapkan daerah, tapi kan sudah dikunci diujung oleh formula itu. Jadi ini tergantung kepala daerahnya, berani keluar atau tidak," kata Tauhid.

Penetapan formula penghitungan UMP dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) 51/2023 tentang Pengupahan. Beleid tersebut menetapkan formula upah minimum mencakup tiga variabel, yakni, inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Dalam PP itu, penghitungan upah dilakukan dengan cara menambahkan upah minimum tahun berjalan (UMt) dengan nilai penyesuaian upah minimum (t+1).

Sedangkan untuk mengetahui angka t+1, dihitung dengan cara inflasi ditambah angka pertumbuhan ekonomi yang dikali dengan alfa (a). a merupakan indeks tertentu yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota.

Simbol a merupakan variabel dalam rentang nilai 0,10 sampai dengan 0,30. Besaran nilai a ditentukan oleh Dewan Pengupahan Provinsi atau Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan tingkat penyerapan tenaga kerja dan rerata atau median upah.

Tauhid mengatakan, jika memang pemerintah ingin menghadirkan solusi menguntungkan bagi pemberi dan penerima kerja, semestinya rentang a diperlebar hingga 0,5. "Harusnya 0,5 alfanya itu, itu baru win win solution. Alfanya itu harus ditambah, minimal itu 0,1-0,5," kata dia.

"(Formula yang berlaku) logikanya, 30 persen itu menjadi haknya pekerja dan 70 persen adalah haknya pelaku usaha, karena inflasi, riilnya itu berkurang. Kalau mau fair, pengusaha dapat 0,5 persen dari PDB, separuhnya dikasih ke pekerja," sambung Tauhid.

Menurutnya, penghitungan formula kenaikan upah yang ditetapkan pemerintah itu disandingkan dengan negara-negara lain. Tujuannya untuk melihat ketepatan dan mengukur besaran kenaikan upah yang pantas.

"Coba bandingkan saja, kalau dengan formula yang sekarang ini dan terlalu rendah, konsekuensinya adalah daya dorong terhadap pertumbuhan ekonomi tidak akan signifikan, konsumsi akan turun," terang dia.

Formula tersebut juga dinilai tak akan bisa mengungkit daya beli masyarakat di tahun depan. Apalagi UMP banyak menyasar masyarakat kelompok menengah yang sedianya sudah mengalami tekanan dalam hal daya beli.

Lantaran kadung diundangkan, kenaikan UMP menjadi relatif rendah dan memiliki daya yang minim untuk mengungkit konsumsi masyarakat. Karenanya, Tauhid mendorong agar pemerintah meningkatkan jaring pengaman sosial, utamanya bagi masyarakat kelas menengah agar bisa menjaga kemampuan konsumsinya.

"Insentif jaminan sosial ditambah, diperbesar, untuk kelas menengah harus lain, entah itu di bidang kesehatan, pendidikan, sehingga pos pengeluarannya dapat berkurang," terang dia.

Baca juga: UMP Ideal Naik 7-10%


Pertumbuhan ekonomi bakal seret


Senada dengan Tauhid, Direktur Eksekutif Center of Law and Economic Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kenaikan UMP 2024 amat mengecewakan dan terlampau rendah. Hal itu menurutnya akan berimplikasi besar pada laju pertumbuhan ekonomi tahun depan.

"Sulit untuk bisa tumbuh lima persen tahun depan dengan stimulus upah yang terlalu rendah. Kenaikan UMP rata rata nasional masih terlalu kecil, idealnya di atas 10 persen melihat tekanan inflasi pangan yang cukup berisiko menggerus daya beli," kata dia.

Bhima mengatakan, inflasi bahan pangan saat ini masih cukup tinggi dan diperkirakan tahun depan inflasi pangan yang tinggi berlanjut. Jika kenaikan upah di bawah lima persen, menurutnya, para pekerja atau buruh akan gelagapan menghadapi inflasi.

"Padahal menjaga daya beli pekerja merupakan kunci agar tahun depan ekonomi bisa lebih tahan hadapi guncangan. Karena konsumsi rumah tangga masih jadi motor pertumbuhan ekonomi yang akan diandalkan tahun 2024," ujarnya.

Mestinya, lanjut Bhima, beberapa pemda menolak formula upah minimum yang ditetapkan oleh Kemnaker. Pemda DKI Jakarta, misalnya, memiliki kewenangan khusus dibanding daerah lainnya terkait dengan penetapan upah merujuk pada Pasal 26 UU DKI Jakarta yang masih berlaku.

"Selama pasal 26 masih bisa memberi ruang pengaturan industri dan perdagangan di mana upah merupakan komponen yang tidak terlepaskan dari kebijakan ekonomi, maka gubernur DKI bisa manfaatkan regulasi itu," kata Bhima.

"Jadi tidak perlu merujuk UU Cipta Kerja soal formulasi upah. Kalau bisa lebih baik dari hasil formula UU Cipta Kerja kenapa tidak? Dengan upah yang naik lebih tinggi maka perputaran ekonomi juga makin naik, yang belanja makin banyak dan berdampak ke pendapatan daerah," sambungnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI-JSK) Kemnaker Indah Anggoro Putri mengatakan, hingga Rabu (22/11) sebanyak empat provinsi belum melaporkan penetapan kenaikan UMP. Empat provinsi tersebut yaitu, Kalimantan Tengah, Papua Barat, Papua Barat Daya, dan Papua Pegunungan.

Padahal tenggat akhir pelaporan penetapan UMP ialah Selasa (21/11) pukul 23.59 WIB. Gubernur yang terlambat melaporkan penetapan UMP dan tidak menggunakan hitungan yang sesuai dengan formula PP 51/2023 akan diberi sanksi oleh Menteri Dalam Negeri.

"Untuk sanksi tanya ke Kemendagri. Itu bukan ranah kami di Kementerian Ketenagakerjaan," tutur Indah.

(M ILHAM RAMADHAN)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)