Ilustrasi PT Harita Nickel. Metro TV/Aries Fadhilah
Aries Fadhilah • 24 August 2025 19:47
SAYA berkesempatan mengunjungi Pulau Obi, Maluku Utara-sebuah pulau kecil yang menyimpan cadangan nikel besar dan menjadi lokasi operasi PT Harita Nickel. Sejak 2010, Harita mendapat izin usaha penambangan di sana, dan pada 2015 membangun pabrik pengolahan nikel sebagai bagian dari program hilirisasi pemerintah. Proyek ini kemudian ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional.
Sebagai wartawan, jujur saya datang dengan rasa skeptis. Undangan perusahaan tambang seringkali terasa sekadar upaya humas untuk memoles citra. Apalagi, kita tahu dunia pertambangan dekat dengan konflik sosial dan lingkungan. Namun perjalanan di Obi membuka ruang untuk melihat lebih dekat, lalu menimbang dengan mata sendiri.
Kami diajak ke kawasan reklamasi yang diberi nama Himalaya. Di lahan yang dulunya tambang terbuka, kini tumbuh pohon-pohon rindang: cemara laut, kayu putih, dan spesies lokal lain. Harita bahkan membangun pusat pembibitan tanaman khusus untuk kebutuhan reklamasi. Saya tahu reklamasi adalah kewajiban setiap perusahaan tambang sesuai aturan pemerintah. Tapi setidaknya, di Obi saya melihat ada keseriusan untuk menjalankannya.
Perusahaan juga membangun pemukiman baru untuk merelokasi warga Desa Kawasi Lama yang terlalu dekat dengan lokasi tambang dan berada di kawasan pesisir pantai yang rawan bencana. Di Kawasi Baru, rumah-rumah permanen sudah berdiri lengkap dengan sekolah dan rumah ibadah. Warga yang pindah mendapat uang pengganti lahan, rumah gratis, lahan usaha, bahkan pelatihan ekonomi.
Dari obrolan singkat dengan seorang warga, saya menangkap kegembiraan itu nyata. Meski begitu, belum semua mau pindah. Sebagian atau sekitar 30 persen warga masih berat meninggalkan tanah leluhur. Saya menyayangkan kami tidak diajak berdialog langsung dengan mereka, karena suara yang bertahan juga penting didengar.
Baca Juga:
Energi Berkelanjutan, Emiten Pertambangan Nikel Kurangi Emisi 690.041 Metrik Ton Co2e |