Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi. Foto: MI/Ebet
JALAN raya bersalin rupa menjadi panggung yang mempertontonkan kuasa dan mempertajam ketimpangan. Strobo dan sirene yang menjadi simbol keselamatan kini melambangkan arogansi.
Arogansi pengguna strobo, langsung atau tidak langsung, berkontribusi menjadikan jalan raya sebagai pembunuh yang mengerikan. Sekitar 27 ribu jiwa melayang pada 2024. Itu artinya, dalam 1 jam, ada 3-4 orang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas.
Faktor manusia menjadi penyebab utama kecelakaan lalu lintas. Sebagai cermin wajah suatu bangsa, kesemrawutan di jalan raya ialah representasi kesemrawutan pengelolaan negara.
Kesemrawutan paling nyata ialah penggunaan lampu isyarat (strobo) dan sirene berbunyi tot tot wuk wuk, serta hak utama penggunaan jalan raya.
Penggunaan strobo dan sirene secara ilegal bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan juga pelanggaran etika publik. Ia menciptakan kasta di jalan raya: yang bersuara tot tot wuk wuk berhak melaju, sementara warga biasa harus menepi. Itu bukan darurat, itu feodalisme modern.
Gerakan Stop Tot Tot Wuk Wuk yang muncul di media sosial ialah jeritan warga yang muak. Mereka tidak hanya menolak suara bising, tapi juga menolak simbol kuasa yang memaksa tunduk. Ketika masyarakat mulai apatis dan cemburu, itu pertanda kepercayaan terhadap pejabat mulai runtuh.
Pembiaran yang terjadi berlama-lama mengungkit kecemburuan masyarakat. Cemburu karena pengguna strobo dan sirene ilegal itu meminta hak utama untuk diberi jalan pada saat kemacetan. Suka-suka mereka menerobos kemacetan lalu lintas.
Celakanya, masyarakat telanjur beranggapan bahwa pengguna strobo dan sirene itu ialah pejabat pemerintah. Faktanya, banyak juga anggota masyarakat yang menggunakan lampu isyarat dan sirene pada kendaraan mereka.
Korps Lalu Lintas Polri sudah memutuskan membekukan sementara penggunaan fasilitas sirene dan strobo kendaraan pejabat di jalan raya. Persoalannya bukan di situ, harus diikuti dengan penegakan hukum tanpa tebang pilih di jalan raya.
Secara hukum, aturan itu sebenarnya sudah jelas. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur secara terperinci soal lampu isyarat dan sirene. Diatur dalam Pasal 59 yang menyebutkan untuk kepentingan tertentu, kendaraan bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene. Lampu isyarat terdiri atas warna merah, biru, dan kuning.
Lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk kendaraan bermotor petugas kepolisian. Lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk kendaraan bermotor tahanan, pengawalan TNI, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah.
Lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk kendaraan bermotor patroli tol, pengawasan sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek kendaraan, dan angkutan barang khusus.
Lampu isyarat warna merah atau biru serta sirene sejatinya berfungsi sebagai tanda kendaraan bermotor yang memiliki hak utama. Dua warna serta sirene itu diberi keistimewaan hak utama dalam menggunakan jalan sehingga seseorang yang menggunakan kendaraan bermotor dengan lampu isyarat warna merah dan biru serta sirene harus diberi jalan oleh pengguna jalan lain.
Pengguna hak utama jalan diatur dalam Pasal 134 UU 22/2009 sesuai dengan urutan diberikan kepada tujuh kategori, yaitu kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas, ambulans yang mengangkut orang sakit, kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas.
Selanjutnya kendaraan pimpinan lembaga negara, kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara, iring-iringan pengantar jenazah, dan konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas kepolisian.
Berdasarkan penjelasan Pasal 134, yang dimaksud dengan 'kepentingan tertentu' ialah kepentingan yang memerlukan penanganan segera, antara lain, kendaraan untuk penanganan ancaman bom, kendaraan pengangkut pasukan, kendaraan untuk penanganan huru-hara, dan kendaraan untuk penanganan bencana alam.
Mengutip situs Auto2000, lampu strobo mudah menarik perhatian karena memiliki warna mencolok. Saat kendaraan dengan lampu strobo lewat, amat mungkin pengendara lain akan menoleh dan mencari tahu. Sanksi atas penggunaan strobo ilegal ialah kurungan paling lama satu bulan atau denda Rp250 ribu.
Aturan terkait dengan strobo dan sirene itu indah di atas kertas, implementasinya tertatih-tatih, ngos-ngosan. Gerakan Stop Tot Tot Wuk Wuk menjadi puncak kekesalan warga pengguna jalan. Penegakan hukum harus disertai edukasi publik dan pengawasan ketat terhadap penjualan serta pemasangan strobo ilegal.
Tidaklah berlebihan bila ada yang menafsirkan strobo dan sirene ialah praktik feodal dalam bentuk modern. Masyarakat secara otomatis harus menepi saat penguasa lewat. Tragis memang, kepada strobo, warga bertekuk.