Dua Tahun Genosida Gaza, Makin Nyaring Suara Singkirkan Israel dari PBB

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pidato Sidang Majelis Umum PBB. Foto: UN

Dua Tahun Genosida Gaza, Makin Nyaring Suara Singkirkan Israel dari PBB

Muhammad Reyhansyah • 8 October 2025 13:45

Gaza: Dua tahun setelah dimulainya kampanye militer Israel di Gaza yang menewaskan puluhan ribu warga Palestina, semakin banyak pakar hukum internasional, mantan pejabat, dan aktivis hak asasi manusia menyerukan agar Israel dikeluarkan atau setidaknya ditangguhkan dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Meski pengusiran Israel secara formal dinilai kecil kemungkinan karena hak veto Amerika Serikat (AS) di Dewan Keamanan PBB, sejumlah pakar menegaskan Majelis Umum PBB memiliki kewenangan untuk menangguhkan partisipasi Israel, seperti yang dilakukan terhadap Afrika Selatan pada 1974.

Saul Takahashi, mantan pejabat tinggi Kantor Hak Asasi Manusia PBB di wilayah pendudukan Palestina, menyatakan bahwa Israel “berulang kali menunjukkan dirinya sebagai negara pembangkang.” Ia menilai Israel tidak lagi memenuhi syarat sebagai negara yang bersedia mematuhi kewajiban keanggotaan di bawah Piagam PBB.

“Israel telah menunjukkan diri sebagai negara nakal, terutama dalam dua tahun terakhir,” ujar Takahashi, seperti dikutip dari Anadolu, Selasa, 7 Oktober 2025.

Profesor hukum Maryam Jamshidi dari University of Colorado Law School menambahkan, opini penasehat Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 2024 mengenai wilayah pendudukan Palestina membuktikan bahwa pemerintahan Israel “tidak sah dan tidak mewakili.”

“Sebagaimana disimpulkan oleh pengadilan, Israel secara ilegal menduduki wilayah milik rakyat Palestina dan terus melanggar hak mereka untuk menentukan nasib sendiri,” kata Jamshidi.

Peluang dan hambatan pengusiran Israel dari PBB

Menurut Jamshidi, perilaku Israel yang meliputi kejahatan perang, genosida di Gaza, hingga pelanggaran terhadap keputusan ICJ dan resolusi Dewan Keamanan, membuat negara itu tidak layak mempertahankan keanggotaan. Namun, ia mengakui proses pengusiran permanen akan sulit dilakukan karena memerlukan rekomendasi dari Dewan Keamanan yang hampir pasti akan diveto oleh AS.

Michael Lynk, mantan pelapor khusus PBB untuk situasi hak asasi di wilayah Palestina, mengingatkan bahwa upaya serupa pernah diajukan pada 1974 ketika negara-negara Selatan mengusulkan pengusiran Afrika Selatan akibat apartheid, namun ditolak oleh Prancis, Inggris, dan AS.

“Sulit membayangkan hal itu terjadi saat ini, mengingat Amerika Serikat selalu melindungi Israel,” ujar Lynk.

Kendati demikian, sejumlah pakar menilai Majelis Umum masih memiliki jalur untuk bertindak. Mereka menyebut mekanisme prosedural yang memungkinkan Majelis menolak pengakuan kredensial delegasi Israel, sebagaimana dilakukan terhadap rezim apartheid Afrika Selatan.

“Melalui prosedur ini, Majelis Umum dapat menolak kehadiran delegasi Israel dalam sidang-sidangnya,” jelas Jamshidi.

Preseden Afrika Selatan

Kasus Afrika Selatan dianggap sebagai preseden penting. Jamshidi menilai, seperti halnya rezim apartheid yang menindas warga kulit hitam dengan memisahkan mereka ke dalam “bantustan”, Israel juga menciptakan sistem serupa terhadap rakyat Palestina di Tepi Barat.

Takahashi mengingat bahwa isolasi internasional terhadap Afrika Selatan melalui sanksi ekonomi, embargo senjata, dan boikot olahraga berperan besar dalam mengakhiri apartheid.

“Saya yakin hal serupa harus dilakukan terhadap Israel, negara yang secara terbuka menjalankan apartheid dan mengabaikan resolusi serta badan-badan PBB,” ujar Takahashi.

Kini, momentum untuk langkah serupa disebut semakin kuat, terutama dari negara-negara Global Selatan. Menurut Lynk, jika pada tahun depan pendudukan Israel terus berlanjut atau bahkan semakin meluas, Majelis Umum kemungkinan besar akan mengajukan usulan untuk menolak kredensial Israel dengan dukungan luas dari negara-negara berkembang.

Takahashi menambahkan, “Negara-negara sudah mulai membicarakan hal itu, mengeluarkan atau setidaknya menangguhkan Israel dari Majelis Umum.” Ia berharap negara-negara seperti Malaysia, Indonesia, dan anggota kelompok Hague Group memainkan peran penting dalam upaya tersebut.

Bagi para pakar, pencabutan keanggotaan Israel dari PBB bukan sekadar simbolik. “Langkah ini akan menjadi pesan kuat dan bentuk akuntabilitas tersendiri,” kata Takahashi.

“Saya berharap hal ini juga memicu lebih banyak sanksi internasional, karena negara-negara bisa melakukannya kapan saja, bahkan mulai besok,” pungkas Takahashi.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Fajar Nugraha)