Asap dari wilayah perbatasan Kamboja yang diserang jet tempur F-16 Thailand. Foto: Militer Thailand/Bangkok Post
Muhammad Reyhansyah • 9 December 2025 15:30
Bangkok: Ketegangan yang kembali pecah di perbatasan Thailand dan Kamboja menyoroti kesenjangan besar dalam kemampuan militer kedua negara yang telah lama berselisih mengenai wilayah sengketa sepanjang 800 kilometer.
Perseteruan ini mempertemukan Thailand sebagai sekutu utama Amerika Serikat (AS) dengan Kamboja yang memiliki hubungan pertahanan dekat dengan Tiongkok.
Sengketa teritorial tersebut telah berlangsung sejak masa kolonial ketika Prancis menetapkan batas wilayah lebih dari satu abad lalu, memicu serangkaian bentrokan bersenjata antara Bangkok dan Phnom Penh.
Kekuatan Militer Tidak Berimbang
Thailand memiliki keunggulan besar baik dari sisi jumlah personel maupun persenjataan. Total 361.000 personel aktif di semua matra militernya hampir tiga kali lipat dari kekuatan Kamboja.
“Thailand memiliki militer besar dengan pendanaan kuat dan angkatan udara yang menjadi salah satu yang terbaik perlengkapannya serta pelatihannya di Asia Tenggara,” tulis International Institute for Strategic Studies (IISS) dalam laporan
Military Balance 2025 seperti dikutip
CNN, Selasa, 9 Desember 2025.
Peringkat kemampuan militer regional oleh Lowy Institute menempatkan Thailand di posisi ke-14 dari 27 negara Asia-Pasifik, jauh di atas Kamboja yang berada di urutan ke-23. Perbedaan itu dapat dimaklumi, mengingat populasi Thailand empat kali lebih besar dibandingkan Kamboja dan memiliki PDB yang lebih dari sepuluh kali lipat.
Dalam
Asia Power Index gabungan, Thailand berada di peringkat ke-10, dikategorikan sebagai kekuatan menengah, sementara Kamboja masuk kelompok kekuatan kecil bersama Bangladesh, Sri Lanka, dan Laos.
Thailand Sekutu AS
Militer Thailand telah lama menjadi pemain utama dalam politik domestik dan terlibat dalam 20 kudeta sejak 1932, menurut CIA World Factbook. Negeri itu mempertahankan status sebagai sekutu perjanjian Amerika Serikat sejak penandatanganan Perjanjian Pertahanan Kolektif Asia Tenggara (Manila Pact) pada 1954.
Selama Perang Vietnam, Thailand menjadi tuan rumah pangkalan udara AS, termasuk operasi pesawat pengebom B-52, sementara puluhan ribu tentaranya bertempur mendukung Vietnam Selatan. Hubungan erat itu berlanjut hingga kini, dengan status Thailand sebagai sekutu utama non-NATO yang membuka akses bantuan alutsista AS selama puluhan tahun.
Thailand dan Komando Indo-Pasifik AS juga menyelenggarakan latihan militer tahunan Cobra Gold, yang dimulai pada 1982 dan kini menjadi latihan militer internasional terlama di dunia. Selain itu, kedua negara menggelar lebih dari 60 latihan bersama, sementara lebih dari 900 pesawat dan 40 kapal angkatan laut AS mengunjungi Thailand setiap tahun.
Meski demikian, dalam satu dekade terakhir Thailand memperkuat pendekatan yang lebih netral dengan meningkatkan kerja sama pertahanan dengan Tiongkok dan membangun industri persenjataan dalam negeri dengan dukungan Israel, Italia, Rusia, Korea Selatan, dan Swedia.
Kamboja Bergantung pada Dukungan Tiongkok
Militer Kamboja yang berdiri pada 1993 setelah penggabungan pasukan pemerintah komunis dengan dua kelompok perlawanan non-komunis, secara aktif menjalin hubungan pertahanan dengan Tiongkok dan Vietnam.
“Hubungan pertahanan internasional terpenting Kamboja adalah dengan Tiongkok dan Vietnam. Tiongkok telah muncul sebagai pemasok utama,” menurut laporan IISS.
Tiongkok juga mengembangkan pangkalan angkatan laut Ream di Teluk Thailand, yang menurut sejumlah analis dapat menampung kapal induk Tiongkok. Kedua negara baru saja menyelesaikan latihan gabungan Golden Dragon edisi ketujuh pada Mei, yang disebut sebagai yang terbesar dan mencakup skenario tembak langsung.
“Tiongkok dan Kamboja adalah sahabat erat, selalu saling mendukung. Kedua militer menikmati hubungan tak tergoyahkan dan persaudaraan sekuat batu karang,” ujar juru bicara Kementerian Pertahanan Tiongkok Senior Kolonel Wu Qian pada Februari.
Kamboja masih sangat membutuhkan dukungan luar karena “belum mampu merancang atau memproduksi peralatan modern bagi militernya sendiri,” tambah laporan IISS.
Phnom Penh kini berpotensi membuka jalur baru untuk memperoleh pasokan AS setelah pemerintahan Trump pada November mencabut embargo senjata, menyusul kesepakatan perdagangan antara kedua negara.
Perbandingan Alutsista
Angkatan Udara Kerajaan Thailand diperkuat setidaknya 11 jet tempur modern Gripen buatan Swedia serta puluhan F-16 dan F-5 buatan AS. Kamboja tidak memiliki angkatan udara tempur yang dapat diandalkan.
Di darat, Thailand memiliki puluhan tank tempur modern termasuk 60 tank VT-4 buatan Tiongkok serta ratusan tank buatan AS, sementara Kamboja memiliki sekitar 200 tank tua buatan Tiongkok dan Uni Soviet.
Thailand juga memiliki lebih dari 600 meriam artileri, termasuk 56 unit 155mm dan lebih dari 550 meriam 105mm, jauh di atas Kamboja yang hanya memiliki sekitar selusin senjata 155mm dan sekitar 400 meriam kelas lebih kecil.
Dalam kemampuan helikopter, Thailand mengoperasikan helikopter serang Cobra buatan AS dan 18 unit helikopter angkut Black Hawk, sedangkan Kamboja hanya memiliki beberapa puluh helikopter angkut tua buatan Soviet dan Tiongkok.
Prospek Eskalasi
Analis militer berbasis Hawaii, Carl Schuster, mantan Direktur Operasi di Pusat Intelijen Gabungan US Pacific Command, menilai bahwa meskipun Thailand memiliki keunggulan jumlah dan kualitas militer, Kamboja mendapat satu keuntungan strategis: kondisi medan.
“Kontur wilayah menguntungkan akses dari wilayah Kamboja menuju area sengketa,” ujarnya.
Dengan dugaan penanaman ranjau dan jebakan di kawasan tersebut oleh pasukan Kamboja, Thailand diperkirakan akan mengandalkan serangan jarak jauh.
“Angkatan Udara Kerajaan Thailand unggul dan pasukan khusus mereka juga lebih unggul,” kata Schuster. “Saya pikir Thailand akan memilih untuk menekankan kekuatan udara dan tembakan jarak jauh dalam konflik ini.”