Opini: Tarif AS Mulai Berlaku, Tiongkok Janji Lindungi Kepentingan

Presiden Tiongkok Xi Jinping siap lawan tarif yang dikeluarkan Amerika Serikat. Foto: Anadolu

Opini: Tarif AS Mulai Berlaku, Tiongkok Janji Lindungi Kepentingan

Harianty • 6 March 2025 05:55

Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump masih belum dapat menyingkirkan taktik lamanya dalam melancarkan perang tarif, dan kali ini, tidak mengherankan, ia mencantumkan Tiongkok, Kanada, dan Meksiko sebagai target tarif tambahan, dan Tiongkok siap untuk menghadapinya.

Pada 4 Februari, pemerintah AS secara resmi mengenakan tarif 10 persen pada semua barang Tiongkok yang diekspor ke AS karena masalah seperti fentanil. Pada saat yang sama, Tiongkok segera mengumumkan tindakan balasan tarif, yang mulai berlaku pada 10 Februari.

Sikap Tiongkok juga tegas, tindakan balasan terhadap tarif AS akan dilaksanakan sesuai jadwal. Jika AS mengambil tindakan lain, Tiongkok akan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melindungi kepentingannya yang sah.

Menurut pengumuman Komite Tarif Dewan Negara, Tiongkok akan mengenakan tarif sebesar 15 persen terhadap batu bara dan gas alam cair yang berasal dari AS, dan tarif sebesar 10 persen terhadap minyak mentah, mesin pertanian, mobil berkapasitas besar yang berasal dari AS. Dengan kata lain, barang-barang yang dikenakan tarif tambahan terhadap AS sebagian besar terpusat pada energi dan mobil.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Lin Jian dalam jumpa pers rutinnya ketika ditanya tentang laporan media yang menyatakan bahwa Tiongkok sedang merumuskan tindakan balasan terhadap tarif AS yang diusulkan, dengan produk pertanian dan makanan AS kemungkinan akan menjadi sasaran, Ia mengatakan, Tiongkok dengan tegas menentang ancaman AS untuk mengenakan tarif tambahan pada produk-produk Tiongkok dengan dalih masalah fentanil.

Menurut AS, tarif tambahan dimaksudkan untuk mengurangi defisit perdagangan AS dan melindungi industri manufaktur AS. Semua pihak tahu bahwa karena masalah dalam struktur ekonomi AS sendiri, dan AS secara umum memiliki defisit perdagangan dalam perdagangan global, dan Tiongkok tidak terkecuali.

Energi adalah salah satu dari sedikit bidang di mana AS memiliki surplus perdagangan dengan Tiongkok. Menurut perhitungan ahli, pada tahun 2024, surplus energi AS dengan Tiongkok akan mencapai 156,676 miliar yuan. Hal ini menunjukkan ketepatan tindakan balasan Tiongkok.

Media AS juga mengakui bahwa energi AS tidak tergantikan oleh Tiongkok, dan Tiongkok dapat menemukan alternatif impor dari negara dan kawasan lain seperti Rusia dan Timur Tengah.

Mengenai fentanil yang kerap kali disebutkan AS sebagai alasan dibalik pengenaan tarif tambahan kepada Tiongkok,  Pihak Tiongkok berulang kali menyatakan bahwa  negaranya merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki kebijakan pengendalian narkoba yang paling ketat dan menyeluruh.

“Fentanil adalah masalah Amerika,” kata Kementerian Luar Negeri Tiongkok, “Pihak Tiongkok telah melakukan kerja sama anti-narkotika yang luas dengan AS dan mencapai hasil yang luar biasa.”

Seperti yang berulang kali ditegaskan Tiongkok, perang tarif, perang dagang, dan perang teknologi bertentangan dengan tren historis dan aturan ekonomi, dan tidak akan ada pemenang, bahkan Presiden Tiongkok Xi Jinping pernah mengatakan Tiongkok bersedia menjaga dialog dengan pemerintah AS, memperluas kerja sama, mengelola perbedaan, dan mendorong pengembangan hubungan Tiongkok-AS ke arah yang stabil, sehat, dan berkelanjutan.

Di tengah rumitnya perekonomian global, fentanil telah menjadi senjata baru dalam permainan rumit antara kedua negara besar. Para ekonom lebih lanjut menghitung bahwa langkah ini dapat memperumit perdagangan lintas batas , hingga sebesar US$30 miliar, yang melibatkan banyak industri, dengan dampak yang begitu luas hingga mengkhawatirkan.

Diketahui, Perang dagang AS-Tiongkok dimulai pada Juli 2018, di bawah pemerintahan Presiden AS saat itu Donald Trump, yang akhirnya menyebabkan tarif pada sekitar USD550 miliar barang Tiongkok dan US185 miliar barang AS.

Kesepakatan perdagangan tahap pertama antara kedua belah pihak ditandatangani pada Januari 2020, meskipun hubungan belum membaik secara signifikan di bawah pemerintahan Presiden AS Joe Biden.

Dengan latar belakang ini, akankah hubungan Tiongkok-AS tergelincir ke Perang Dingin baru?  Beberapa laporan dari Pentagon mengklaim bahwa perkembangan industri Tiongkok menimbulkan ancaman, dan mendorong hubungan perdagangan ke arah konfrontasi. Kemungkinan pilihan Tiongkok adalah melakukan tindakan balasan, dan diperkirakan akan memperparah kondisi perekonomian global, bahkan Indonesia.

Masa depan hubungan Tiongkok-AS penuh dengan ketidakpastian. Semua pihak perlu bersikap tenang dan rasional. Diharapkan negara-negara yang berselisih dapat menyelesaikan konflik dengan baik melalui dialog bersama.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)