Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. (MI/Ebet)
Abdul Kohar • 1 October 2025 08:09
PEKAN lalu, harian Financial Times menaikkan analisis berjudul How South-East Asia Lost Its Way. Penulisnya Ruchir Sharma, bos Rockefeller International sekaligus kolumnis tetap di media ekonomi internasional terkemuka itu. Yang membuat saya tertarik ialah pandangan dia soal perekonomian negara-negara di Asia Tenggara.
Menurut Sharma, negara Asia Tenggara yang paling tangguh secara ekonomi ialah Vietnam. Ia memaparkan sejumlah argumentasi mengapa Vietnam ia sebut negara paling tangguh se-Asia Tenggara dalam hal ekonomi, terutama dalam menyiasati perang dagang global.
Baginya, kenyataan daya tahan ekonomi Vietnam itu tidak mengherankan. 'Respons terbaik membuahkan hasil terbaik. Vietnam ialah satu-satunya pasar saham Asia Tenggara yang memberikan imbal hasil yang kuat, saat Indonesia mengalami penurunan paling tajam', tulis Sharma.
Di antara respons terbaik itu, misalnya, untuk melawan dumping Tiongkok dan hambatan tarif Amerika Serikat, pemerintah Vietnam mendorong reformasi domestik untuk meningkatkan investasi sektor swasta. Pemerintah Vietnam juga merampingkan perusahaan-perusahaan negara.
Selain Vietnam, negara Asia Tenggara yang tangguh di tengah ketidakpastian ekonomi global, menurut Sharma, ialah Malaysia. 'Negeri Jiran' itu mengambil setidaknya beberapa langkah untuk memaksimalkan keunggulan mereka, terutama di sisi pusat data.
Apa yang dianalisis Sharma terkait dengan resiliensi Malaysia itu nyata adanya. Fakta menunjukkan, dalam satu tahun terakhir Johor di Malaysia sukses memantapkan diri sebagai sentra pusat data dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, dengan pasokan agregat hampir dua kali lipat dalam 12 bulan terakhir. Kemampuan Johor kini menjadi 5,8 gigawatt (Gw) hingga kuartal kedua 2025.
Menurut Laporan Pusat Data Asia-Pasifik Knight Frank terbaru, dengan disokong dukungan pemerintah yang kuat dan peluncuran Pedoman Perencanaan Pusat Data Nasional Malaysia, Johor menjadi penopang ekspansi Asia-Pasifik yang memecahkan rekor, yang ditandai dengan hampir 13 Gw pengumuman proyek baru pada paruh pertama tahun ini. Angka itu melonjak 160% secara tahunan.
Malaysia pun sukses menjadikan Johor sebagai pusat infrastruktur digital yang penting di kawasan ini. Itu bisa dilihat dari meningkatnya adopsi komputasi awan (cloud) dan permintaan berbasis kecerdasan buatan, yang menunjukkan fondasi pasar yang kuat. Malaysia pun diprediksi akan sanggup menjadikan diri mereka sebagai basis strategis untuk investasi digital jangka panjang, sekaligus mencerminkan posisi strategis Malaysia dalam ekonomi digital.
Pada semester I 2025 saja, pasar mencatat 260 megawatt (Mw) aktivitas leasing dengan permintaan yang sebagian besar didorong media sosial (61%) dan beban kerja AI. Tingkat kekosongannya hanya 1,1%, atau salah satu yang terendah di Asia-Pasifik. Hal itu menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan kapasitas listrik dan perencanaan yang matang untuk memenuhi lonjakan permintaan. Itulah yang membuat Malaysia dinilai 'tangguh' secara ekonomi.
Baca Juga:
AFPC 2025 Disiapkan Jadi Forum Bersejarah ASEAN yang Lebih Inklusif |