Belajar dari Pulau Obi: Hilirisasi Nikel, Tenaga Asing, dan Harapan Anak Negeri

Ruang kontrol pabrik hilirisasi nikel PT. Harita Nickel di Pulau Obi. Foto: Metro TV/Aries Fadhilah

Belajar dari Pulau Obi: Hilirisasi Nikel, Tenaga Asing, dan Harapan Anak Negeri

Aries Fadhilah • 28 August 2025 17:28

Isu tentang “serbuan tenaga kerja asing asal Tiongkok” beberapa tahun terakhir kerap menghiasi ruang publik kita. Narasi itu semakin menguat seiring dengan program hilirisasi tambang—salah satu prioritas besar pemerintah. Nikel menjadi salah satu komoditas yang paling banyak dibicarakan, karena sejak larangan ekspor bahan mentah diberlakukan, Indonesia menaruh harapan besar pada industri hilir nikel sebagai sumber nilai tambah ekonomi.
 
Sejak 1970-an, kebijakan tambang Indonesia memang cenderung berorientasi pada ekspor bahan mentah. Namun kini, ketika kita menjadi produsen nikel terbesar di dunia, hilirisasi adalah keniscayaan. Kita ingin memperoleh keuntungan lebih dari setiap ton nikel yang dihasilkan.
 
Salah satu perusahaan nasional yang menjalankan kebijakan ini adalah PT Harita Nickel, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Pulau Obi, Maluku Utara. Perusahaan ini mulai menambang nikel pada 2010, dan sejak 2015 membangun smelter untuk pengolahan.
 

Kesan Pertama: Tionghoa di Pulau Obi

 
Begitu menjejakkan kaki di Pulau Obi, kesan pertama seakan menegaskan isu publik: papan petunjuk jalan, penginapan, hingga tempat umum banyak disertai tulisan berbahasa Mandarin. Kesan seolah “nikel dikuasai tenaga kerja asing” seperti menemukan pembenarannya.
 
Namun, perjalanan saya lebih jauh ke dalam pabrik smelter Harita justru memberi gambaran berbeda.
 

Di Balik Dinding Smelter: Anak Muda Indonesia yang Mengendalikan Produksi

 
Di kawasan industri, saya melihat sendiri bahwa seluruh kendali operasional berada di tangan warga negara Indonesia, dipimpin seorang pria asal Yogyakarta. Smelter Harita sendiri menggunakan dua teknologi pengolahan: RKEF (Rotary Kiln Electric Furnace) dan HPAL (High Pressure Acid Leaching). HPAL bahkan menjadikan Harita pionir—pabrik pertama di Indonesia dan terbesar di dunia yang memakai teknologi ini.
 
Benar bahwa kedua teknologi tersebut diciptakan dan dikembangkan di Tiongkok, dan benar pula bahwa pemasangan serta uji coba mesin membutuhkan tenaga ahli dari negeri asalnya. Tetapi, apa yang saya temui menunjukkan bahwa dominasi tidak seseram yang dibayangkan.
 
Di ruang kontrol pabrik RKEF, saya mendapati 12 tenaga kerja wanita Indonesia—semua sarjana muda dari berbagai daerah—duduk di depan deretan layar monitor. Mereka memantau suhu tungku, aliran bahan baku, hingga jumlah produksi nikel. Hanya ada dua orang tenaga kerja asal Tiongkok, berperan sebagai supervisor. Para pekerja muda ini tidak canggung, bahkan bercerita dengan bangga bagaimana mereka, sebagai fresh graduate, akhirnya bisa mandiri dan berkarier di industri strategis nasional.
 
Menariknya, seluruh pekerja kontrol room adalah perempuan. Alasannya sederhana: pekerjaan ini menuntut ketelitian, dan perusahaan percaya kaum perempuan punya keunggulan di bidang itu.
 

Bahasa, Interaksi, dan Kehidupan Bersama

 
Bagaimana komunikasi dengan supervisor asal Tiongkok yang hanya bisa berbahasa Mandarin? Ternyata para pekerja muda sudah dibekali pelatihan bahasa Mandarin, ditambah dukungan penerjemah. Di luar jam kerja, interaksi berjalan cair. Saya sempat melihat mereka bermain basket dan tenis meja bersama. Fasilitas olahraga yang disediakan perusahaan bukan hanya sarana rekreasi, tetapi juga ruang perjumpaan lintas budaya.
 

Angka yang Berbicara

 
Dari total sekitar 30 ribu pekerja Harita, 85 persen adalah tenaga kerja Indonesia, sementara TKA asal Tiongkok hanya sekitar 15 persen. Semua pekerja tambang adalah tenaga lokal, bahkan banyak berasal dari Maluku Utara. Lulusan SMA setempat mendapat pelatihan operator alat berat—sebuah program yang memberi mereka keahlian baru dan masa depan.
 

Catatan Penting: Transfer Teknologi Jangan Terhenti

 
Namun, ada catatan yang tidak boleh diabaikan. Semua peralatan inti smelter didatangkan dari Tiongkok, semua teknologi adalah hasil rekayasa mereka. Maka kebutuhan akan tenaga kerja asing memang wajar pada tahap awal. Pertanyaannya: sampai kapan ketergantungan ini akan berlangsung?
 
Di sinilah transfer teknologi menjadi kunci. Direktur HSE PT Harita, Tonny Gultom, menegaskan bahwa proses ini sudah berjalan, namun tetap membutuhkan dukungan pemerintah. Pemerintah harus mewajibkan setiap investasi smelter nikel asal Tiongkok menyertakan program alih teknologi terukur—melalui pelatihan, magang, dan sertifikasi bagi tenaga kerja Indonesia.
 

Penutup: Hilirisasi Bukan Sekadar Industri, Tapi Investasi Peradaban

 
Perjalanan ke Pulau Obi memberi saya pelajaran berharga. Hilirisasi bukan sekadar soal angka ekspor atau cadangan devisa. Hilirisasi adalah soal membangun kepercayaan diri bangsa: bahwa anak-anak muda Indonesia mampu mengendalikan teknologi canggih, mampu berdiri sejajar dengan para ahli asing, bahkan mampu suatu saat kelak menciptakan teknologi sendiri.
 
PT Harita Nickel memberi contoh: meski diwarnai isu tenaga kerja asing, kenyataannya mayoritas pekerja adalah anak negeri. Mereka adalah wajah masa depan industri strategis kita.
 
Namun pekerjaan rumah masih banyak. Pemerintah, perguruan tinggi, dan industri harus memastikan bahwa alih teknologi bukan sekadar janji, melainkan kenyataan. Jika itu berhasil, maka hilirisasi bukan hanya akan memperkaya neraca ekonomi, tetapi juga memperkuat kedaulatan bangsa.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Misbahol Munir)