Tiongkok Pegang 'Kartu AS' dalam Perang Dagang vs Trump, Apa Saja?

Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump (kiri), dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping (kanan), berjabat tangan dalam konferensi pers di Balai Agung Rakyat di Beijing, Tiongkok, 9 November 2017. (EFE/Roman Pilipey)

Tiongkok Pegang 'Kartu AS' dalam Perang Dagang vs Trump, Apa Saja?

Riza Aslam Khaeron • 12 April 2025 14:46

Alabama: Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali memuncak. Pada 9 April 2025, Presiden Donald Trump secara sepihak menaikkan tarif impor terhadap produk-produk asal Tiongkok menjadi 125 persen.

Beijing langsung merespons dua hari kemudian, 11 April, dengan tarif balasan yang sama besar dan menyebut langkah Trump sebagai “lelucon”. Kini kedua negara resmi terlibat dalam perang dagang berskala penuh.

Namun, seperti dijelaskan oleh Linggong Kong, kandidat doktor ilmu politik dari Auburn University, dalam artikelnya yang terbit di The Conversation pada 11 April 2025, Tiongkok kini jauh lebih siap.

Tidak seperti pada 2018 ketika Tiongkok mencoba berdiplomasi dalam menghadapi Trump, kali ini Beijing memiliki lebih banyak daya tawar dan bahkan berpotensi menang dalam konfrontasi ekonomi tersebut.
 

Pasar domestik: ketergantungan terhadap AS menurun tajam

Salah satu faktor utama yang memperkuat posisi Tiongkok adalah menurunnya ketergantungan pada pasar ekspor AS. Pada awal perang dagang 2018, sekitar 19,8% ekspor Tiongkok tertuju ke Amerika Serikat.

Namun pada 2023, angka itu merosot menjadi 12,8%. Ini merupakan dampak dari strategi jangka panjang Beijing yang disebut "domestic demand expansion" atau perluasan permintaan dalam negeri.

Kong menjelaskan bahwa strategi ini membuka peluang konsumsi domestik sebagai pendorong utama pertumbuhan.

“Kebijakan ini memanfaatkan kekuatan belanja kelas menengah Tiongkok yang tumbuh pesat,” ungkapnya. Artinya, ketika AS membatasi pasokan atau menaikkan tarif, Tiongkok tidak lagi terlalu bergantung pada pembeli luar, tetapi justru mengalihkan ke pasar internalnya sendiri.
 

Rantai pasok global masih dipegang Tiongkok

Kekuatan struktural lain yang tak bisa diabaikan adalah dominasi Tiongkok atas rantai pasok global, terutama untuk produk teknologi tinggi dan bahan baku kritis. Menurut Kong, Tiongkok masih memasok sekitar 72% kebutuhan rare earth (logam tanah jarang) AS. Logam ini digunakan dalam sistem persenjataan, satelit, radar, dan elektronik.

Sebagai bentuk balasan, Tiongkok memasukkan 15 perusahaan Amerika ke dalam daftar kontrol ekspor pada 4 Maret, disusul 12 perusahaan tambahan pada 9 April. Perusahaan-perusahaan itu sebagian besar adalah kontraktor pertahanan dan teknologi tinggi, seperti perusahaan satelit, drone, hingga sistem navigasi militer.
 

Sektor pertanian: "senjata" tak kasat mata Tiongkok

Tiongkok juga mengincar sektor pertanian AS yang sangat tergantung pada ekspor ke China, terutama produk unggulan seperti kedelai dan unggas. Kong mengungkap bahwa hampir 50% ekspor kedelai dan 10% ekspor ayam AS ditujukan ke pasar Tiongkok.

Pada 4 Maret 2025, Beijing mencabut izin tiga eksportir kedelai utama dari AS. Dampaknya signifikan karena banyak wilayah pertanian di AS merupakan kantong suara Partai Republik, partai yang mengusung Trump. Dengan demikian, balasan Tiongkok bersifat strategis—memukul langsung basis politik sang presiden.
 

Ketergantungan manufaktur teknologi AS

Apple dan Tesla, dua simbol teknologi AS, masih sangat bergantung pada manufaktur di Tiongkok. Dengan diberlakukannya tarif tinggi, margin laba perusahaan-perusahaan ini menyusut tajam. Tiongkok pun dikabarkan sedang menyiapkan tekanan regulasi terhadap perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di wilayahnya.

Kong juga menyinggung posisi Elon Musk yang dikenal dekat dengan Trump tetapi memiliki kepentingan bisnis besar di Tiongkok.

“Ini adalah celah yang bisa dimanfaatkan Beijing untuk memecah kubu internal pemerintah AS,” jelas Kong, merujuk pada konflik Musk dengan penasihat dagang Trump, Peter Navarro.
 
Baca Juga:
'Dibuang' Investor, Dolar AS Ambruk Lagi
 

Peluang strategis dan aliansi global

Di luar balasan ekonomi, Tiongkok juga memanfaatkan situasi ini untuk memperluas pengaruh geopolitiknya. Setelah Trump menaikkan tarif pada banyak negara sekutu AS, termasuk di Asia Tenggara dan Eropa, Beijing bergerak cepat mempererat hubungan dagang.

Pada 30 Maret 2025, Tiongkok menggelar dialog ekonomi tiga pihak bersama Jepang dan Korea Selatan—yang pertama dalam lima tahun. Sementara itu, Presiden Xi Jinping dijadwalkan mengunjungi Vietnam, Malaysia, dan Kamboja pada 14-18 April 2025 untuk memperdalam kerja sama strategis. Semua negara itu sebelumnya jadi target tarif AS hingga 49%.

Di kawasan lain, Tiongkok dan Uni Eropa juga membuka pembicaraan tentang penguatan hubungan dagang. Pada 9 April, Uni Eropa mengumumkan tarif balasan terhadap AS sebesar 25% untuk barang senilai lebih dari 20 miliar euro, tetapi menunda implementasinya sambil menunggu hasil dialog dengan Beijing.

Mereka juga menjajaki kemungkinan menggelar KTT bersama di Tiongkok pada Juli 2025.
 

Pelemahan dolar dan ketidakpastian pasar AS

Trump mungkin mengira bahwa sanksi ekonomi sepihak akan memperkuat posisi AS, namun efek sebaliknya justru muncul di pasar keuangan. Kong menjelaskan bahwa investor global mulai meragukan status dolar sebagai aset aman.

“Ketika ketidakpastian naik dan tarif makin luas, dolar tak lagi jadi pilihan utama lindung nilai,” tulisnya.

Sementara itu, kekhawatiran terhadap utang AS dan kondisi ekonomi yang mulai melambat akibat tekanan tarif memperburuk sentimen pasar. Penurunan indeks dolar dan imbal hasil surat utang AS jadi sinyal bahwa pasar tidak menyambut kebijakan Trump dengan optimisme.

Trump mungkin mengira bahwa ia sedang menggiring lawannya ke sudut, namun Kong berpendapat sebaliknya. Dengan perubahan struktural ekonomi, dominasi rantai pasok, pengaruh atas komoditas dan manufaktur global, serta peluang politik di tengah keterasingan AS, Tiongkok kini punya banyak "kartu AS" dalam genggamannya.

“Perang dagang ini bukan hanya soal tarif, tetapi juga siapa yang lebih siap secara strategis, diplomatik, dan psikologis. Dan kali ini, Beijing tampaknya lebih unggul,” tutup Kong.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Surya Perkasa)