Berpotensi Langgar HAM, Skema Kemitraan Ojol Dinilai Tak Bisa Dipertahankan

Ilustrasi ojek online. Dok Metrotvnews.com

Berpotensi Langgar HAM, Skema Kemitraan Ojol Dinilai Tak Bisa Dipertahankan

Farhan Zhuhri • 1 July 2025 18:58

Jakarta: Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) menegaskan hubungan kerja antara perusahaan aplikator dan pengemudi ojek online (ojol) sudah tidak layak untuk dipertahankan. Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan Hak Asasi Manusia, Munafrizal Manan, menjelaskan jika model kemitraan seperti ini terus berlangsung, hal itu dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM yang disengaja.

“Jika model ini tetap dipertahankan tanpa koreksi, itu menunjukkan itikad buruk. Ini bukan lagi sekadar praktik bisnis, tapi bentuk pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis,” ujar Munafrizal dalam laporan ringkas tindak lanjut penanganan pengaduan HAM atas permasalahan ojek online, dikutip pada Selasa, 1 Juli 2025.

Temuan tersebut merupakan hasil tindak lanjut dari penanganan berbagai pengaduan publik yang masuk ke Kementerian HAM terkait kondisi kerja pengemudi ojol. Ada beberapa poin kesimpulan dalam tindak laporan tersebut, menurut dia, belum adanya regulasi tegas dan komprehensif yang mengatur tata kelola bisnis aplikasi transportasi online berbasis hak asasi manusia. 

Situasi ini memperkuat dominasi perusahaan aplikator dalam sistem, dengan pemerintah nyaris tidak bisa melakukan intervensi. “Peran regulator terkunci. Sistem dibuat sepenuhnya oleh aplikator, dari hulu hingga hilir. Negara seperti kehilangan kendali,” ungkap dia.
 

Baca Juga: 

Pengemudi Ojol Cuma Minta Biaya Aplikasi Dipotong, Bukan Kerek Tarif hingga 15%


Dia menegaskan regulasi yang ada justru memberi celah hukum bagi aplikator untuk menerapkan hubungan kerja yang menempatkan mereka dalam posisi superior. 

"Akibatnya, posisi tawar pengemudi sangat lemah dan terpaksa menerima skema sepihak dari perusahaan," jelas dia.

Kondisi Kerja Tidak Manusiawi dan Imbalance Power

Kementerian HAM menilai relasi antara pengemudi dan perusahaan aplikator tidak mencerminkan kemitraan yang sejajar, melainkan hubungan subordinatif. 

“Hubungan ini tidak genuine. Posisi aplikator sangat dominan, sedangkan pengemudi inferior dan terkondisikan untuk tunduk,” kata Munafrizal. 

Penggunaan istilah 'mitra' dianggap sebagai perisai untuk menghindari tanggung jawab hukum perusahaan terhadap pengemudi. Padahal, dalam praktiknya, aplikator tetap mengatur jam kerja, skema tarif, hingga pembagian komisi.

Sebagai jalan keluar, Kementerian HAM merekomendasikan adanya pemisahan status kerja. Yakni pengemudi ojol paruh waktu tetap dapat dikategorikan sebagai mitra, sedangkan pengemudi penuh waktu harus diakui sebagai pekerja dengan hak-hak sebagaimana diatur dalam perundang-undangan ketenagakerjaan.

"Model kerja yang manusiawi, adil, dan berkelanjutan dinilai sebagai solusi jangka panjang untuk mendukung pembangunan ekonomi digital yang tetap menghormati HAM," ujar dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)