Kisah Guru Honorer di Lereng Gunung Kawi, dari Kandang Sepi ke Ruang Kelas

Tri Rahmat Habiby saat mengajar di hadapan siswa-siswi SMKN 1 Wonosari. Metrotvnews.com/ Daviq Umar

Kisah Guru Honorer di Lereng Gunung Kawi, dari Kandang Sepi ke Ruang Kelas

Daviq Umar Al Faruq • 24 November 2025 10:11

Malang: Kabut tipis hampir selalu menggantung di lereng Gunung Kawi ketika Tri Rahmat Habiby memacu motornya menembus dingin pagi menuju Desa Sumberdem, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Udara basah menusuk hingga tulang, sementara jalanan sunyi dan rumah-rumah yang masih terlelap seolah ikut membingkai ritual paginya.

Di kejauhan, Pesarean Gunung Kawi yang tersohor berdiri diam, seperti penjaga senyap perjalanan waktunya. Tempat itu bukan sekadar latar, melainkan saksi bisu dari dua dunia yang tengah dijalani lelaki 36 tahun itu.

Di kawasan inilah Habiby menjalani dua peran yang nyaris bertolak belakang: sebagai guru honorer di sebuah sekolah kejuruan yang masih muda, dan sebagai peternak yang kini justru kehilangan ternaknya. Dua identitas itu melekat erat, menghadirkan ironi yang tak pernah benar-benar meninggalkannya.

“Saya kerasan sama suasana di sekolah. Adem,” katanya saat ditemui, Senin, 24 November 2025.
 


Kalimat sederhana itu bukan semata soal hawa sejuk pegunungan. Di dalamnya tersimpan alasan terdalam mengapa ia tetap bertahan mengajar di SMKN 1 Wonosari, meski gaji tak seberapa dan kepastian masa depan kerap kabur.

Rumahnya berada di Pakisaji, sekitar 30 kilometer dari sekolah. Setiap Selasa sampai Kamis, ia rutin berangkat sekitar pukul 06.00 WIB, menembus jalanan yang masih diselimuti sisa malam.

“Jam 06.00 WIB berangkat, 45 menitan. Sampai sana jam 07.00 WIB kurang 10 menit,” ujar Habiby.

Di sekolah yang berdiri sejak 2018 silam itu, Habiby mengajar mata pelajaran kewirausahaan untuk seluruh jurusan, mulai dari Teknik Energi Surya, Hidro dan Angin, Teknik Kendaraan Ringan Otomotif, Desain Komunikasi Visual, hingga Agribisnis Tanaman Pangan dan Agribisnis Ternak Ruminansia. Sekolah itu kini menampung lebih dari 400 siswa.

“Saya termasuk guru angkatan pertama di situ. Waktu sekolahnya belum dibangun, masih numpang, saya sudah ngajar di sana. Pembangunannya sekitar enam sampai tujuh bulan," kenang Habiby.


Tri Rahmat Habiby saat mengajar di hadapan siswa-siswi SMKN 1 Wonosari. Metrotvnews.com/ Daviq Umar Al Faruq

Meski berhadapan dengan ratusan siswa setiap tahun, Habiby mengaku nyaris tak mengenal mereka secara personal. Ia datang, mengajar, lalu pulang, seolah hanya menjadi perantara pengetahuan di antara dinding kelas.

Namun justru di ruang kelas itulah ia paling jujur pada hidupnya sendiri. Sebagai guru kewirausahaan, ia tidak menyampaikan teori kosong, melainkan pengalaman nyata yang pernah ia jalani di dunia usaha ternak.

“Kalau kita guru, kebanyakan sama kayak konsultan, bisa ngomong aja, enggak bisa ngelakuin. Tapi kalau kita sudah melakukan wirausaha, sudah terjun, kita profesional. Maka bargaining position-nya ada di kita, power-nya ada di kita,” tegas Habiby.

Ia pun melontarkan kritik keras pada sistem pendidikan dan mentalitas yang menurutnya kehilangan arah. Generasi muda disebutnya membutuhkan sosok nyata, bukan hanya narasi motivasi di atas kertas.

“Tidak ada guru wirausaha tapi tidak berwirausaha. Sama seperti dokter hewan tapi tidak punya hewan. Indonesia itu kehilangan spesialisasi, dituntut jadi all rounder. Generasi strawberry itu butuh sosok. Kalau tidak ada panutan, tidak bisa," ungkap Habiby.

Jejak Panjang Seorang Peternak Sejak Bangku Sekolah

Dunia ternak telah masuk ke hidup Habiby bahkan jauh sebelum ia mengenal ruang kelas sebagai guru. Benih itu tumbuh sejak ia masih duduk di bangku SMP.

“Saya kelas VIII SMP itu. Bapak saya kasih uang sekian ratus ribu. Saya disuruh cari kambing 11 ekor. Saya naik sepeda sama kakak dari Sawojajar ke Gondanglegi. Nyari kambing ke kampung-kampung. Pulangnya nyewa pick up,” tutur Habiby.

Sejak hari itu, kehidupannya akrab dengan bau kandang, pakan ternak, serta tawar-menawar di pasar hewan. Dari kambing, ia beralih ke sapi ketika menginjak bangku SMA, hingga akhirnya melanjutkan kuliah di Universitas Brawijaya, jurusan Ekonomi Pembangunan. Ia lulus pada 2013, setelah enam tahun menjalani dua dunia sekaligus: kampus dan kandang.

Pada satu masa, ia pernah berada di titik keemasan peternakan. Usaha yang dirintis bertahun-tahun mulai membuahkan hasil yang tak sedikit.

“Sebelum pandemi covid-19, omset bisa Rp200–300 juta per bulan. Net income-nya 10–12 persen, sekitar 30 jutaan. Kita enjoy, kerja enak,” kata Habiby.


Suasana kandang milik Tri Rahmat Habiby saat masih berisi sejumlah sapi. Metrotvnews.com/ Daviq Umar Al Faruq

Kandang yang ia miliki mampu menampung hingga 40–50 ekor sapi, ditambah satu kandang khusus kambing dan domba. Skala itu membuatnya masuk dalam jajaran peternak menengah yang cukup mapan di wilayahnya.

Namun roda nasib berputar cepat dan kejam. Pandemi covid-19, wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), dan kebijakan impor membuat usaha peternakan lokal terpukul tanpa ampun.

“Terus terang sekarang saya tidak punya sapi. Nilai keekonomian sapi ini terlalu mahal. Kalau pakai sapi lokal, hancur lebur. Enggak ketemu harga sapinya. Banyak pengusaha sapi gulung tikar. Kita bisa hidup aja sudah Alhamdulillah," tutur Habiby.

Ia memilih berhenti sejenak dari dunia sapi. Kandang yang dulu ramai suara lenguhan kini kosong, hanya menyisakan jejak-jejak kesibukan masa lalu. Yang masih bertahan hanyalah domba dan kambing.

“Enggak ada nabi yang enggak rawat domba. Mungkin di situ ada keberkahan,” gumam Habiby pelan.

Honor yang Tak Setimpal dengan Ilmu

Di sekolah, status Habiby bukanlah pegawai negeri maupun guru tetap. Ia adalah guru honorer yang dibayar berdasarkan jumlah jam mengajar.

“Per jam itu Rp50.000. Seminggu 25 jam. Paling nerimanya Rp700.000–Rp750.000 setelah potongan koperasi dan lain-lain,” ucap Habiby.

Angka itu bahkan pernah tak cukup untuk kebutuhan pribadinya. Namun dalam keterbatasan itu, ia justru menemukan perubahan kecil pada dirinya.

“Waktu kemarin buat beli rokok aja enggak cukup. Tapi sekarang Alhamdulillah sudah berhenti merokok," timpal Habiby.

Yang paling menyayat baginya bukanlah kecilnya nominal, melainkan cara negara dan masyarakat memaknai kerja seorang guru honorer. Profesionalitas kerap digantikan oleh jargon keikhlasan semata.

“Setiap orang bekerja di Indonesia, dihitungnya keikhlasan. Kalau variabelnya keikhlasan, maka enggak ada profesionalitas. Kita dituntut profesional, tapi parameternya keikhlasan. Jadi mau kerja santai atau ngebut, hasilnya sama,” tegas Habiby.

Ia sempat mengajukan berkas untuk seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu. Namun hingga hari ini, kepastian itu masih menggantung di udara.

Antara Guru, Peternak, dan Kabut Gunung Kawi

Habiby tidak pernah menganggap dirinya pahlawan. Ia juga tidak merasa sedang melakukan sesuatu yang istimewa.

“Dulu disuruh ibu jadi guru. Karena kalau kerja itu ya pakai seragam, masuk pukul 07.00 WIB dan pulang pulang 15.00 WIB. Kalau enggak seperti itu, dianggap pengangguran, meskipun saya peternak,” kata Habiby sambil tersenyum tipis.

Ia tidak mengaku mencintai dunia mengajar, juga tidak berambisi menjadi pegawai tetap. Namun entah mengapa, ia tetap datang — dalam dingin pagi, dalam ketidakpastian masa depan, dan dalam sunyi yang panjang.

Di Hari Guru Nasional, kisah Tri Rahmat Habiby menjadi potret paradoks pendidikan di negeri ini. Seorang guru yang bertahan hidup dari sisa usaha ternak, dan seorang peternak yang harus merelakan kandangnya kosong.

Di satu sisi, ia berdiri di depan kelas, membentuk mimpi-mimpi muda. Di sisi lain, ia berdiri di depan kandang sepi, menunggu roda kehidupan kembali menemukan jalannya.

Di lereng Gunung Kawi, di antara kabut yang turun perlahan, pengabdian itu tak selalu bersuara. Namun ia tetap nyata, setia, dan tak pernah benar-benar pergi.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Silvana Febiari)