Truk bantuan kemanusiaan melewati perlintasan Rafah yang memisahkan Mesir dan Jalur Gaza. (Anadolu Agency)
Willy Haryono • 19 October 2025 16:34
Gaza: Kelompok pejuang Palestina, Hamas, mengecam keputusan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang tetap menutup perlintasan Rafah. Hamas menyebut keputusan itu sebagai pelanggaran nyata terhadap perjanjian gencatan senjata dan pengingkaran terhadap komitmen yang telah dibuat di hadapan para mediator internasional.
Dalam pernyataan resminya pada Sabtu kemarin, Hamas menilai langkah Netanyahu yang menutup Rafah hingga pemberitahuan lebih lanjut bertentangan dengan kesepakatan yang dicapai pada awal Oktober, yang dimediasi Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
“Keputusan Netanyahu untuk mencegah pembukaan kembali perlintasan Rafah hingga pemberitahuan lebih lanjut merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap perjanjian gencatan senjata dan pengingkaran terhadap komitmen yang telah dibuatnya di hadapan para mediator dan pihak penjamin,” ujar Hamas, dikutip dari Antara, Minggu, 19 Oktober 2025.
Rafah, yang merupakan satu-satunya jalur keluar Gaza yang tidak dikendalikan Israel, dijadwalkan kembali dibuka pada Rabu lalu sebagai bagian dari fase pertama implementasi gencatan senjata yang mulai berlaku pada 10 Oktober.
Namun, Kantor Perdana Menteri Israel menyatakan penyeberangan itu akan tetap ditutup untuk sementara waktu, dengan alasan “pertimbangan keamanan.”
Sejak Mei 2024, Israel telah memblokir pergerakan warga Palestina di Rafah. Penutupan tersebut semakin memperburuk kondisi kemanusiaan di Gaza, terutama karena perlintasan itu menjadi satu-satunya akses keluar bagi warga sipil, pasien, dan bantuan kemanusiaan.
Dalam pernyataannya, Hamas menyebut penutupan yang berlarut-larut telah menghalangi evakuasi korban luka, membatasi pergerakan warga sipil, menghambat masuknya peralatan penyelamatan, serta memperlambat proses identifikasi jenazah korban.
“Penutupan berkelanjutan terhadap Rafah akan menunda pemulihan dan penyerahan jenazah sandera Israel,” kata kelompok tersebut.
Hamas juga menuduh Israel telah melanggar gencatan senjata sebanyak 47 kali, yang menewaskan 38 warga Palestina dan melukai 143 orang sejak kesepakatan diberlakukan. Mereka menilai pelanggaran ini menunjukkan “niat agresif Israel” serta keberlanjutan kebijakan pengepungan terhadap lebih dari dua juta penduduk Gaza.
Kelompok itu mendesak para mediator internasional dan negara penjamin untuk menekan Israel agar membuka kembali perlintasan Rafah serta mematuhi seluruh ketentuan kesepakatan.
Berdasarkan perjanjian gencatan senjata yang dicapai pekan lalu, Hamas telah membebaskan 20 sandera Israel hidup dan menyerahkan jenazah 13 lainnya, sebagai imbalan atas pembebasan hampir 2.000 tahanan Palestina oleh Israel.
Kesepakatan tersebut merupakan bagian dari rencana bertahap yang diajukan Presiden Trump, dengan fase awal difokuskan pada pertukaran sandera dan tahanan, serta langkah menuju pembangunan kembali Gaza dan pembentukan mekanisme pemerintahan baru tanpa keterlibatan Hamas.
Menurut data Kementerian Kesehatan Gaza, sejak dimulainya perang pada Oktober 2023, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 68.100 orang dan melukai sekitar 170.200 lainnya, menjadikannya salah satu konflik paling mematikan di abad ke-21.
Baca juga: Uni Emirat Arab Kirim 7.000 Ton Lebih Bantuan Kemanusiaan ke Gaza