Ilustrasi. Medcom
Devi Harahap • 27 July 2025 23:22
Jakarta: Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), M. Endriyo Susila, mengatakan penegakan hukum di Indonesia, khususnya pemberantasan korupsi, sedang mengalami kemerosotan. Institusi penegak hukum seolah mengalami pembusukan dari dalam karena sistem hukum sering diperalat aktor politik, serta menjadi komoditas bagi oknum penegak hukum.
“Jika kondisi seperti ini terus berlangsung, penegakan hukum terhadap figur publik atau pejabat publik bukan hanya tidak efektif, tapi bisa juga salah sasaran,” kata Endriyo dalam keterangannya, Minggu, 27 Juli 2025.
Endriyo menyoroti implikasi putusan vonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta terhadap mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Thomas Trikasih Lembong, dalam kasus korupsi impor gula. Secara pribadi, dia tidak setuju dengan putusan tersebut.
Menurut dia, putusan itu mengoyak rasa keadilan publik. Sebab, Tom dijerat hukuman, meski tidak menikmati uang hasil korupsi.
“Putusan pemidanaan terhadap Tom Lembong ini sangat mengejutkan. Meminjam istilah dari dunia kedokteran, prognosis kasus ini seharusnya berujung pada putusan bebas murni (vrijspraak), namun kenyataannya ketokan palu hakim justru untuk mengesahkan hukuman 4,5 tahun penjara untuk Tom,” ujar dia.
Endriyo menjelaskan kasus ini bisa terus bergulir melalui berbagai upaya hukum, salah satunya banding. Namun, jika putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), karier Tom Lembong hanya akan terhenti sementara.
“Statusnya sebagai mantan napi itu tidak akan terlalu menjadi kendala karena publik lebih melihat status mantan napi itu bukan karena kejahatan yang dilakukan Tom pada masa lalu, tetapi lebih sebagai hasil kriminalisasi,” ucap dia.
Baca Juga:
Komisi Kejaksaan Dinilai Tebang Pilih dan Kompromis pada Kasus Tom Lembong |
Menurut Endriyo, putusan semacam ini semakin menguatkan dugaan masyarakat bahwa hukum bisa dibeli. Selain itu, dia menilai peluang banding akan tergantung pada mindset majelis hakim yang memeriksa perkara di tingkat banding.
“Jika cara memahami kasusnya sama seperti majelis hakim pada pemeriksaan tingkat pertama, hasilnya lebih kurang sama. Namun jika majelis hakim tingkat banding melihat dengan cara yang berbeda, hasil akhirnya bisa berbeda,” ujar dia.