Ilustrasi kebocoran anggaran. Foto: MI.
BERANI mengungkap kesalahan ialah anak tangga pertama menuju perbaikan. Tanpa adanya kejujuran bahwa telah terjadi suatu kesalahan, sulit untuk membangun masa depan yang gemilang. Itu disebabkan semua hal yang baik tidak akan pernah tumbuh di atas penyangkalan.
Karena itu, kita patut mengapresiasi pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan pada sidang tahunan MPR dan sidang bersama DPR-DPD di Gedung DPR/MPR, kemarin. Prabowo berani mengungkapkan bahwa Indonesia mengalami kebocoran kekayaan negara dalam skala yang sangat besar.
Presiden mengistilahkan kondisi yang tengah dihadapi Indonesia saat ini sebagai net outflow of national wealth atau dana keluar dari suatu negara atau pasar keuangan yang lebih besar daripada jumlah dana yang masuk.
Berangkat dari pengakuan itu, ia menyatakan tidak ingin menghabiskan energi dengan mencari siapa yang salah. Bagi Prabowo, lebih penting dan mendesak untuk memusatkan diri dalam mencari solusi yang tepat dan cepat terhadap bocornya kekayaan negara.
Menurutnya, jika tidak segera diatasi, kekayaan Indonesia akan semakin banyak yang mengalir ke luar negeri. Bahkan, Indonesia berpotensi menjadi negara gagal. Ibarat badan yang darahnya terus mengalir ke luar, pada satu titik akan mati jua.
Akan tetapi, pengakuan Prabowo tentang terjadinya kebocoran kekayaan negara harus diikuti dengan serangkaian aksi nyata. Pengakuan saja tidak cukup, bahkan menjadi sia-sia belaka, apalagi kalau narasi itu terus diulang-ulang tanpa ada pembenahan berarti.
Rekam jejak digital masih ada dan dapat dengan mudah dilacak. Setahun silam, Prabowo Subianto saat masih menjadi presiden terpilih, disebut-sebut sudah memegang data ratusan perusahaan nakal yang bikin penerimaan negara bocor hingga Rp300 triliun.
Pernyataan itu disampaikan oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra sekaligus adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo. Hashim menyatakan, kebocoran penerimaan negara itu berasal dari sektor industri perkebunan sawit.
Namun, kabar dari ratusan perusahaan nakal itu sampai sekarang belum ramai terdengar publik. Yang sampai di telinga publik justru rekening bank menganggur dalam tiga bulan akan diblokir negara, tanah tidak dikelola selama dua tahun akan disita negara.
Menjadi semakin ironis karena Prabowo sudah pernah menggunakan istilah negara gagal. Dalam arahannya saat rapim TNI-Polri di Tri Brata Darmawangsa, Jakarta, 30 Januari silam, Prabowo mengatakan ciri-ciri negara gagal dilihat dari kinerja aparat keamanannya. "Biasanya ciri khas negara yang gagal adalah tentara dan polisi yang gagal," kata Prabowo ketika itu.
Lagi-lagi persepsi publik tentang tentara dan polisi masih dihinggapi persaingan antarinstitusi. Apalagi sempat terjadi insiden penyerangan oleh sekelompok anggota TNI terhadap Kantor Mapolres Tarakan, Kalimantan Utara, pada 24 Februari lalu.
Skeptisisme masyarakat tentang TNI-Polri makin menebal manakala ada pengerahan kendaraan taktis (rantis) di Kantor Kejaksaan Agung, awal Agustus ini. Dua panser Anoa milik TNI-AD, dalam kondisi nihil perang, dinilai tidak lazim terparkir di lembaga sipil.
Sekali lagi, kita tentu mengapresiasi kejujuran Presiden Prabowo tentang bocornya kekayaan negara serta ancaman terjadinya negara gagal. Namun, publik juga tidak mau terlena dengan narasi belaka. Kita dorong agar Presiden serius menyelamatkan kebocoran anggaran.
Jangan cepat puas dengan pencapaian selama ini. Berbagai cara pencegahan dan pemberantasan korupsi mesti dipercepat lagi agar upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan tata kelola yang baik segera terealisasi. Buktikan bahwa narasi kebocoran anggaran bukan bualan.