Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA. Dok. Istimewa
Cahya Mulyana • 17 March 2025 22:24
Jakarta: Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, berharap Presiden Prabowo Subianto memimpin kampanye antikorupsi. Dia menilai Prabowo akan berhasil membawa Indonesia menjadi negara maju jika berhasil menaikkan Indeks Tata Kelola Pemerintahan (GGI) dari 53,17 ke 70,00 selama lima tahun ini.
Indeks Tata Kelola Pemerintahan Indonesia masih rendah (53,17) dibandingkan dengan Korea Selatan (79,44). Bahkan, Jepang mencapai 84,11, dan Singapura 87,23.
"Korupsi bukan sekadar kejahatan finansial, ia mencuri masa depan bangsa. Jika Prabowo ingin dikenang sebagai Presiden yang membawa Indonesia melompat ke negara maju, Prabowo disyaratkan juga menjadi Bapak Pemberantas Korupsi Indonesia," kata Denny saat pemaparan riset di Jakarta Timur, Senin, 17 Maret 2025.
Dalam risetnya, LSI Denny JA mengembangkan indeks tata kelola pemerintahan dengan mendayagunakan enam indeks dunia yang kredibel. Negara yang gagal dalam tata kelola pemerintahan akan gagal membangun negara kuat. Negara yang gagal memberantas korupsi juga akan gagal.
Denny mengingatkan tak peduli seberapa besar sumber daya yang dimiliki, jika pemerintahan lemah, kebocoran anggaran, lambannya birokrasi, dan korupsi sistemik akan menghancurkan fondasi negara.
Indonesia kini berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, ambisi pertumbuhan ekonomi delapan persen per tahun menjadi cita-cita besar.
"Namun, di sisi lain, masalah yang mengakar dalam sistem tetap menjadi penghambat seperti korupsi, birokrasi yang tidak efisien, serta lemahnya tata kelola pemerintahan," ujar dia.
Baca Juga:
Prabowo Tak Gentar Hadapi Koruptor: Mafia Mana pun Tidak Takut! |
Tata kelola pemerintahan adalah fondasi kemajuan sebuah bangsa. Untuk mengukurnya, Good Governance Index (GGI) menilai enam pilar utama, masing-masing dipantau lembaga internasional yang telah lama mengkaji kualitas pemerintahan dunia.
Pertama, efektivitas pemerintahan sebesar 25 persen. Diukur oleh World Bank melalui Government Effectiveness Index (GEI) sejak 1996, mencakup 214 negara, menilai efisiensi birokrasi, regulasi, serta kualitas layanan publik. Kedua, pemberantasan korupsi sebesar 20 persen yang diukur Transparency International melalui Corruption Perceptions Index (CPI) sejak 1995, meliputi 180 negara.
Ketiga, digitalisasi pemerintahan sebesar 15 perse) yang diukur UN DESA melalui E-Government Development Index (EGDI) sejak 2003, mencakup 193 negara. Keempat, demokrasi sebesar 15 persen yang diukur Economist Intelligence Unit melalui Democracy Index (DI) sejak 2006, mencakup 167 negara. Menilai transparansi politik, kebebasan sipil, dan partisipasi rakyat.
Kelima, pembangunan manusia sebesar 15 persen. Diukur UNDP melalui Human Development Index (HDI) sejak 1990, meliputi 191 negara. Dan keenam, keberlanjutan lingkungan sebesar 10 persen yang diukur Yale University melalui Environmental Performance Index (EPI) sejak 2006, mencakup 180 negara.
Denny mengatakan untuk bisa masuk ke jajaran negara dengan tata kelola yang baik, Indonesia harus mampu menaikkan GGI ke angka 70. Yang pertama harus dilakukan adakah memberantas korupsi.
Saat ini, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia hanya 34, tertinggal dari Singapura (83), Jepang (73), dan Korea Selatan (63). Dari kasus mafia migas di Pertamina, suap dalam proyek infrastruktur, hingga skandal impor, korupsi telah merugikan negara triliunan rupiah setiap tahun.
Kedua, meningkatkan efektivitas Pemerintahan Indonesia yang saat ini hanya 0,58, jauh tertinggal dari Singapura (2,32), Jepang (1,63), dan Korea Selatan (1,4). Banyak kebijakan pemerintah yang disusun dengan baik di atas kertas, tetapi gagal diimplementasikan karena birokrasi yang tidak efisien, regulasi yang berbelit, serta minimnya akuntabilitas.
Ketiga, memperbaiki demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas. Indeks Demokrasi Indonesia saat ini berada di angka 6,53, lebih rendah dibanding Korea Selatan (8,4) dan Jepang (8,09). Sistem demokrasi yang sehat seharusnya menciptakan kontrol atas kekuasaan, keseimbangan antara eksekutif dan legislatif, serta kebebasan pers dan civil society yang kuat.
Namun, tantangan yang masih dihadapi adalah politik uang yang masih mengakar, minimnya transparansi dalam pengambilan kebijakan, politik tanpa oposisi yang berimbang.
"Jika demokrasi hanya sekadar prosedural tanpa transparansi dan akuntabilitas, maka kekuasaan akan terus berputar di tangan oligarki, tanpa memberikan dampak nyata bagi rakyat," ujar Denny.
Keempat, pembangunan manusia. Negara yang kuat tidak hanya dinilai dari pertumbuhan ekonominya, tetapi juga dari seberapa baik membangun kualitas hidup warganya. Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia saat ini hanya 0,713, tertinggal jauh dari Singapura (0,949), Korea Selatan (0,929), dan Jepang (0,920).
Ketimpangan dalam akses pendidikan dan layanan kesehatan masih menjadi masalah serius. Jaminan kesehatan belum merata untuk semua warga. disparitas ekonomi antara kota dan desa masih sangat besar.
"Jika pembangunan manusia tidak menjadi prioritas, pertumbuhan ekonomi hanya akan dinikmati oleh segelintir elit, sementara mayoritas rakyat tetap tertinggal," tutur dia.
Baca Juga:
Bakal Bangun Penjara Khusus Koruptor di Pulau Terpencil, Presiden Prabowo: Kalau Keluar Ketemu Hiu |
Kelima, adalah keberlanjutan lingkungan. Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Namun ironisnya, Indeks Lingkungan Indonesia (EPI) hanya 28,2, jauh tertinggal dari Jepang (59,6) dan Singapura (50,9). Hutan terus ditebang tanpa kendali, polusi udara semakin meningkat, dan transisi energi hijau masih tertinggal dari negara lain. Tanpa kebijakan yang ketat dalam perlindungan lingkungan, Indonesia akan menghadapi krisis ekologis yang sulit dipulihkan.
Keenam, digitalisasi pemerintahan. Indeks Digitalisasi Pemerintahan Indonesia (EGDI) masih di angka 0,7991, tertinggal dari Singapura (0,9691), Korea Selatan (0,9679), dan Jepang (0,9351). Negara-negara yang telah maju dalam digitalisasi pemerintahan berhasil mengurangi korupsi, mempercepat layanan publik, dan meningkatkan efisiensi birokrasi.
"Jika semua tantangan di atas tidak segera diselesaikan, Indonesia akan terus tertinggal dalam tata kelola pemerintahan. Prabowo telah berulang kali bersumpah, akan mengejar koruptor hingga Antartika, membangun penjara di pulau terpencil, dikelilingi laut dengan ikan hiu. Kini ditunggu langkah nyatanya," tegas Denny.
Langkah nyatanya, kata Denny, seperti merevisi undang-undang agar hukuman koruptor lebih berat, minimal 20 tahun penjara tanpa remisi hingga penjara seumur hidup. Menurut dia, melalui disahkannya UU Perampasan Aset, penegak hukum bisa menyita seluruh aset hasil korupsi dan mengembalikannya kepada rakyat
Kemudian, membangun sistem digitalisasi penuh dalam birokrasi, sertai menutup celah suap dan permainan proyek. Memulai dengan kasus korupsi yang kini sedang nampak di depan mata seperti Pertamina.
"Berantas mafia minyak hingga ke akarnya, termasuk politik oligarki yang selama ini ikut menerima keuntungan dan melindungi mereka," ujar Denny.