Memodifikasi Perasaan

Dewan Redaksi Media Group, Jaka Budi Santosa. Foto: MI/Ebet.

Memodifikasi Perasaan

Media Indonesia • 13 December 2024 06:16

WARGA Jabodetabek sedang tidak enak perasaan. Harap-harap cemas, resah, gelisah, bahkan dicekam ketakutan akibat hantu yang menakutkan.

Hantu itu bukanlah kuntilanak, genderuwo, wewe gombel, buto ijo, suster ngesot, atau pocong. Pasti juga bukan Anies Baswedan yang oleh M Qodari disebut hantu bagi pemilih minoritas. Qodari ialah pengamat politik, pemilik lembaga survei yang kini menjadi pejabat negara. Jabatannya tak main-main, Wakil Kepala Staf Kepresidenan.

Dalam sebuah siniar jelang Pilkada Jakarta 2024, ia menyebut dukungan Anies kepada Pramono Anung-Rano Karno justru menguntungkan Ridwan Kamil-Suswono karena pemilih dari kalangan minoritas akan mengubah dukungan. ''Karena sekali lagi, tesis saya Anies adalah hantu yang lebih mengerikan jika dibandingkan dengan PKS bagi pemilih minoritas,'' begitu dia bilang. Nyatanya, tesis Qodari salah. Faktanya, dengan dukungan Anies, Mas Pram-Bang Doel menjadi juara.

Hantu yang hari-hari ini mengancam ketenangan masyarakat Jabodetabek ialah potensi terulangnya banjir besar 2020 dalam waktu dekat. Adalah Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati yang menyampaikannya. Kata dia, bencana itu mungkin terjadi lagi akibat seruak udara dingin dari dataran Siberia yang diprediksi mencapai wilayah barat Indonesia pada 20-29 Desember ini.
 

Baca juga: 

Jaksel dan Jaktim Diprediksi Dilanda Hujan Ringan


"Saat landing di Indonesia bagian barat, yaitu Jawa Barat, Lampung, Banten, dan DKI Jakarta, peristiwanya bisa mirip (2020). Kami berharap skenario terburuk tidak akan terjadi, insya Allah tidak akan buruk, tetapi skenario terburuk itu dapat meningkatkan curah hujan dengan intensitas yang ekstrem,” ungkap Dwikorita di DPR, Rabu (4/12).

Ada petuah, katakanlah yang benar meski itu pahit. Paparan Dwikorita memang pahit, tetapi harus disampaikan. Ia bukan paranormal, bukan dukun, juga bukan pawang hujan. Prakiraan BMKG didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Akurasinya pun belakangan makin meningkat, sekitar 80%-85%. Bukan seperti yang dulu-dulu, yang untuk menjadi pedoman ibu-ibu menjemur cucian baju saja tak mampu. Jadi, mau alasan apa lagi untuk tak menjadikan prakiraan BMKG sebagai pijakan antisipasi?

BMKG sudah membuat prakiraan, telah melayangkan peringatan. Kini tinggal kita, utamanya penyelenggara negara, punya tanggung jawab agar ancaman hantu banjir besar tak jadi nyata. Miris betul kejadian pada awal 2020 silam. Ketika itu, Jakarta dan sekitarnya tenggelam. Lebih dari 170 ribu orang mengungsi. Air bah bahkan merenggut 67 nyawa. Nominal kerugian sangat besar. Estimasinya lebih dari Rp10 triliun.

Itulah amuk banjir paling mengerikan di Jabodetabek. Amuk yang menyisakan trauma bagi sebagian warga hingga sekarang. Trauma yang begitu mengganggu perasaan menjelang banjir lima tahunan, yang kebetulan jatuh akhir tahun ini hingga awal tahun depan.
 
Baca juga: 

BMKG: Waspada Dinamika Cuaca saat Libur Nataru


Kalau tak bisa dihindari, bencana mesti dihadapi. Ihwal potensi banjir besar nanti, kita tak memiliki kuasa untuk meniadakan, tapi punya kemampuan meminimalkan dampaknya. Yang penting ialah kemauan, yang utama ialah kesungguhan.

Berbagai langkah antisipasi yang disiapkan baik oleh pusat maupun pemerintah daerah semoga berimbas baik. Pun dengan keahlian para ahli BMKG, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta pihak lainnya dalam memodifikasi cuaca.

Operasi TMC (teknologi modifikasi cuaca), itulah yang selama ini mereka andalkan agar cuaca tak semena-mena.

Seperti dikutip dari Sciencehistory.org, metode itu muncul melalui salah satu tokoh penting dalam modifikasi cuaca, yakni ilmuwan Amerika, James Pollard Espy. Pada 1839, Espy mengajukan teori bahwa pembakaran besar-besaran kayu atau materi lainnya dapat memanaskan udara di atmosfer sehingga menyebabkan hujan. Ide itu menjadi pionir memanipulasi cuaca.
Baca juga: 

Bedah Editorial MI - Keangkuhan Berbuah Petaka


Pada 1891, muncul paten pertama terkait dengan modifikasi cuaca oleh Louis Gathmann yang mengusulkan penggunaan meriam besar untuk meledakkan bahan peledak di langit guna menciptakan hujan. Ilmu pengetahuan kian berkembang. Ilmuwan mulai bereksperimen serius untuk mengendalikan hujan dan kabut. Salah satunya penelitian tentang modifikasi awan yang dilakukan Vincent Schaefer dan Irving Langmuir pada 1946.

Schaefer dan Langmuir berhasil menemukan bahwa penyemaian awan dengan partikel perak iodida atau es kering dapat memicu pembentukan kristal es di awan, yang akhirnya menyebabkan hujan. Penemuan itu dianggap sebagai dasar dari teknologi cloud seeding hingga sekarang.

Di sini, di Indonesia ini, TMC sudah sering digunakan untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan, banjir, serta menjaga pasokan air di daerah pertanian. Untuk mencegah banjir, teknologi bisa mengarahkan hujan agar tak menumpuk di satu lokasi. Sebelum mencapai daratan, dipaksa turun di lautan. Hasilnya, pada 6-9 Desember ini, umpamanya, TMC berhasil menekan intensitas hujan 13% hingga 67% di Jabodetabek. Hujan tak jadi ekstrem.

Biaya operasi TMC memang mahal, tapi sejatinya murah demi memodifikasi perasaan warga agar tak dicekam kecemasan, supaya tak menjadi korban bencana. Kiranya TMC perlu dimasifkan untuk mencegah banjir terulang. Masyarakat boleh juga menenangkan diri karena sudah ada Bendungan Ciawi dan Sukamahi sebagai pengendali banjir dari hulu. Keduanya disebut mampu mereduksi 30,6?bit air. Plus upaya-upaya lain, semoga banjir besar di Jabodetabek dan di daerah lain hanyalah kisah lama.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Anggi Tondi)