Ini Dampak Negatif Indonesia Gabung OECD

Ilustrasi. Foto: dok Kemenkeu.

Ini Dampak Negatif Indonesia Gabung OECD

M Ilham Ramadhan Avisena • 12 August 2024 16:23

Jakarta: Pemerintah tengah mempersiapkan Indonesia menjadi anggota tetap Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Hal itu dinilai akan membawa perekonomian Indonesia menjadi lebih baik lantaran dapat sejajar dengan negara-negara maju.
 
Sejauh ini Indonesia berada dalam tahapan aksesi dan ditargetkan dapat rampung dalam tiga tahun ke depan. Namun Indonesia juga berpeluang merugi jika tergesa-gesa bergabung dengan OECD.
 
"Ada beberapa konsekuensi dari bergabung dengan OECD yang justru malah bisa menghambat perkembangan dari industri manufaktur," ujar Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CoRE) Mohammad Faisal, Senin, 12 Agustus 2024.
 
Industri pengolahan Indonesia, kata dia, berpotensi mengalami kemunduran kinerja lantaran kehilangan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) atau pembebasan bea masuk yang diberikan oleh Amerika Serikat. Fasilitas itu hanya diberikan Negeri Paman Sam kepada industri dari negara berkembang.
 
Keanggotaan di dalam OECD akan membuat Indonesia dipandang sebagai negara maju. Dus, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri berpotensi tak lagi mendapat fasilitas GSP dari AS yang notabene mitra dagang utama Indonesia.
 
"Dengan demikian, bisa jadi, sangat mungkin pasar industri manufaktur di luar negeri, negara tujuan, AS, misalnya, akan tergerus. Khususnya industri manufaktur yang ekspor ke AS itu seperti industri TPT, alas kaki," terang Faisal.
 

Baca juga: Begini Perjalanan Indonesia Jadi Anggota OECD
 

Cuma mementingkan negara maju

 
Selain itu, orientasi dari OECD adalah condong pada kepentingan-kepentingan negara maju. Sementara Indonesia dari tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) relatif masih jauh dari kategori negara maju.
 
Alhasil, kepentingan Indonesia berpotensi tak akan menjadi prioritas meski nantinya telah menjadi anggota tetap dari OECD. Mayoritas negara maju, imbuh Faisal, kerap menerapkan kebijakan non tariff barriers pada sistem perdagangannya.
 
Itu terutama pada produk-produk berteknologi tinggi dan memenuhi syarat serta ketentuan terhadap dampak lingkungan. "Dan dalam banyak hal, negara berkembang (seperti Indonesia) banyak yang belum siap," jelas Faisal.
 
Hal lain yang juga berpotensi berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia ialah terkait transisi energi. Indonesia yang saat ini masih banyak ditopang oleh industri manufaktur bakal kewalahan jika harus menerapkan standar transisi energi dari OECD.
 
Pasalnya, hingga saat ini sumber pergerakan industri manufaktur di Tanah Air masih menggunakan energi yang dianggap kotor oleh OECD. "Kalau harus mengikuti interest negara maju dengan energi bersih, ini berarti butuh effort, biaya, sementara sumber daya kita yang kompetitif ada di sana," kata Faisal.
 
"Jadi, artinya kalau tidak hati-hati, justru menghambat perkembangan industri manufaktur dan artinya juga menghambat pertumbuhan ekonomi," tutur dia menambahkan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)