Menjadi Bahagia

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.

Menjadi Bahagia

Abdul Kohar • 20 September 2025 06:46

ADA pepatah terkenal di Finlandia yang berbunyi, 'Kebahagiaan adalah titik di antara terlalu sedikit dan terlalu banyak'.

Dengan pepatah itu, Finlandia membangun fondasi kebahagiaan. Tidak mengherankan bila akhirnya Finlandia menjadi negara paling bahagia di dunia selama delapan tahun terakhir menurut survei global yang berjudul World Happiness Survey.

Survei itu mengacu pada sebuah petanyaan evaluasi tangga kehidupan Cantril: Bayangkanlah sebuah tangga dengan anak tangga yang diberi nomor dari nol di bagian bawah hingga 10 di bagian atas. Bagian atas tangga mewakili kehidupan terbaik bagi kamu dan bagian bawah tangga mewakili kehidupan terburuk bagi kamu. Di anak tangga mana yang menurut kamu secara pribadi kamu merasa berada saat ini?

Saya menulis indeks kebahagiaan Finlandia sebagai negara yang rakyatnya paling bahagia di dunia untuk membandingkannya dengan Indonesia. Pada pertengahan pekan ini, saya didaulat menjadi salah satu narasumber diskusi Forum Denpasar Dua Belas (FDD) yang mengangkat tema soal keluarga. Saya mendapat bagian menyoroti maraknya kasus-kasus kriminal 'aneh' (orangtua membunuh anak, anak membunuh orangtua, satu keluarga bunuh diri) yang terjadi di sejumlah keluarga di negeri ini, yang menjadi tanda meningkatnya masalah kesehatan mental.

Ada sejumlah data agak 'menyeramkan' terkait dengan kesehatan mental itu. Data itu, misalnya, ada 1,7 juta orang Indonesia menderita stres berat. Angka itu setara dengan 58% lebih dari total jumlah orang stres di negeri ini. Data tersebut berasal dari Survei Nasional BPS 2022.

Tahun ini diyakini jumlah orang stres di negeri ini bertambah, terbukti dari naiknya kunjungan ke klinik-klinik psikologi. Total kenaikannya mencapai 20% hingga 30%. Padahal, di negeri ini tak kurang nasihat: 'jangan lupa bahagia', atau sering orang berkata, 'bahagia itu sederhana'.

Musabab mereka stres macam-macam, dari tekanan ekonomi, sempitnya ruang publik, akses kesehatan mental rendah, keluarga yang sangat kering dari sentuhan cinta, hingga perundungan. Semua faktor itu memicu terjadinya stres, mereduksi kebahagiaan, lalu mendatangkan masalah kesehatan mental.

Saya lalu tertarik untuk membandingkannya dengan Finlandia, negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi di dunia. Finlandia berada di urutan teratas, diikuti oleh Denmark dan Belanda. Saya mencoba mengulik lebih dalam, mengapa orang Finlandia lebih bahagia jika dibandingkan dengan negara lain di seluruh dunia? Jawabannya karena sejumlah faktor, dari akses pendidikan yang sangat bagus, akses dan infrastruktur kesehatan yang mumpuni, tingkat kesejahteraan yang merata yang ditunjukkan dengan tingkat ketimpangan pendapatan yang lebih rendah (terutama perbedaan antara gaji tertinggi dan terendah). Selain itu, dukungan sosial di Finlandia tinggi, kebebasan untuk mengambil keputusan ada di mana-mana, dan tingkat korupsi yang rendah.

Di Finlandia, masyarakatnya amat pantang melakukan tiga hal: pamer kekayaan untuk membandingkan kesuksesan diri dengan orang lain; pantang 'menyakiti' alam dan lingkungan (sehingga mereka hidup dengan sangat peduli terhadap alam dan lingkungan); serta pantang mengambil sepeser pun yang bukan menjadi hak mereka (terbukti dari tingkat korupsi yang sangat rendah).

Ilustrasi. Foto: Pixels.

Tingkat ketimpangan pendapatan yang rendah juga memicu orang Finlandia hidup bahagia. Tingkat ketimpangan yang dicerminkan Koefisien Gini di negeri dingin itu rendah, yakni 0,28 pada 2025. Angka itu lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio Gini Indonesia yang masih di angka 0,375. Ukuran Koefisien Gini membentang dari 0 hingga 1. Angka 0 menunjukkan tidak adanya ketimpangan, sedangkan angka 1 menunjukkan jurang ketimpangan yang sangat menganga. Secara umum, ketika ketimpangan pendapatan lebih besar, uang menjadi lebih penting dan orang-orang menjadi kurang bahagia.

Finlandia juga memiliki atribut lain yang dapat membantu orang merasa lebih bahagia. Finlandia memiliki sistem perawatan kesehatan yang didanai oleh pemerintah dan hanya memiliki sedikit sektor kesehatan swasta. Hal itu jauh lebih efektif dan efisien daripada beberapa alternatif yang digunakan di negara lain. Transportasi umum dapat diandalkan dan terjangkau serta Bandara Helsinki menjadi salah satu bandara dengan peringkat terbaik di Eropa Utara.

Namun, sangat mungkin bahwa Finlandia memiliki lebih banyak sekolah yang adil, tempat yang mana publik bisa mendapatkan pendidikan yang baik di mana pun yang mereka pilih serta kebijakan sekolah yang lebih adil (hampir semua orang Finlandia bersekolah di sekolah terdekat dengan tempat tinggal).

Begitu juga dengan kebijakan perumahan yang lebih baik dengan berbagai macam perumahan sosial dan tingkat tunawisma yang lebih rendah, layanan kesehatan dengan waktu tunggu yang membuat iri dunia dan banyak prestasi lainnya.

Kebebasan sangat penting bagi masyarakat Finlandia. Begitu juga kebebasan dari rasa takut yang sangat dijamin di negeri itu. Hal itu dapat menjelaskan mengapa Turki dan India memiliki tingkat kebahagiaan lebih rendah daripada yang diperkirakan. Itu terjadi salah satunya karena tingkat ketidaksetaraan ekonomi mereka yang masih tinggi.

Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini menempati peringkat 83 dari 147 negara yang disurvei. Bila dibandingkan dengan Finlandia soal level kebahagiaan, kita masih di level 'medioker' cenderung bawah. Ketimbang Taiwan, Singapura, atau Malaysia, kita juga masih kalah. Indonesia ada di sepertiga tengah bagian bawah.

Boleh jadi karena tingkat kesejahteraan dan kesetaraan kita juga masih di level medioker bagian bawah. Dalam urusan korupsi yang menjadi salah satu sumber ketidakbahagiaan, misalnya, kita masih di level atas. Skor indeks persepsi korupsi kita seperti tak sanggup lagi untuk menembus 40 dalam skala 100. Sementara itu, negara Nordik seperti Finlandia, skor indeks persepsi korupsinya sudah di atas 80, bahkan mendekati 90.

Lalu, apakah kita cukup puas dengan sejumlah peningkatan amat kecil yang ada, lalu bersiul sambil menyanyikan penggalan lirik lagu Doris Day: 'Que sera, sera whatever will be, will be. The future’s not ours to see, apa yang terjadi terjadilah. Masa depan bukan urusan kita?'

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Anggi Tondi)