Gedung BRIN. Foto: Humas BRIN.
M. Iqbal Al Machmudi • 19 September 2025 09:26
Jakarta: Kepala Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indi Dharmayanti, menegaskan perubahan iklim bukan sekadar isu lingkungan. Perubahan iklim juga menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat.
Perubahan suhu, curah hujan, dan cuaca ekstrem terbukti memengaruhi penyakit yang ditularkan oleh hewan (zoonosis), seperti nyamuk dan kutu. Akibatnya, risiko penyakit malaria, demam berdarah, chikungunya, hingga zoonosis lain terus meningkat.
“Karena itu, melalui forum ini, kita dapat memperbarui data sekaligus menyusun strategi pengendalian adaptif berbasis sains,” kata Indi dikutip dari Media Indonesia, Jumat, 19 September 2025.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Triwibowo Ambar Garjito, mengungkapkan, BMKG mencatat tahun 2024 sebagai tahun terpanas dengan suhu rata-rata 27,5 derajat celsius. Curah hujan ekstrem dan banjir rob menciptakan habitat baru bagi nyamuk, bahkan hingga dataran tinggi di atas 1.000 mdpl yang sebelumnya bebas malaria.
Kelembaban tinggi mempercepat siklus hidup Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua spesies nyamuk tersebut meningkatkan ancaman demam berdarah.
"Deforestasi dan perubahan tata guna lahan memperbesar kontak manusia dengan hewan pembawa penyakit. Dibutuhkan pendekatan multidisipliner untuk memprediksi, memantau, dan mengurangi beban penyakit," kata Triwibowo.
Ilustrasi nyamuk aedes aegypti. Foto: Medcom.id
Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Arief Mulyono, menyoroti penyakit akibat kelelawar dan tikus. Kelelawar merupakan reservoir berbagai virus berbahaya seperti nipah dan hendra. Sementara tikus, dengan kemampuan reproduksi tinggi, membawa lebih dari 80 jenis patogen.
“Kasus leptospirosis, misalnya, sering melonjak pascabanjir besar akibat meningkatnya populasi tikus dan buruknya sanitasi,” ungkap Arief.
Arief menambahkan, perubahan iklim mendorong satwa liar bermigrasi lebih dekat ke permukiman manusia. Kelelawar vampir di Amerika Latin bahkan meluas ke wilayah baru akibat kenaikan suhu, menimbulkan risiko penularan ke ternak maupun manusia.
Dia menekankan pentingnya pengendalian komprehensif. Mulai dari surveilans, manajemen habitat, konservasi hutan, hingga edukasi masyarakat.
Sementara itu, Ketua Perkumpulan Entomologi Kesehatan Indonesia (PEKI), Suwito, menyebut kondisi ekologi dan iklim tropis Indonesia sangat mendukung perkembangan vektor penyakit. Hampir seluruh wilayah hingga tingkat desa menghadapi risiko penyakit tular vektor dan zoonosis.
Menurut dia, penelitian dan surveilans harus menjadi dasar mitigasi awal, namun tidak berhenti pada kajian semata. “Hasil riset perlu ditindaklanjuti dengan intervensi nyata di lapangan,” tegasnya.
Pihaknya berkomitmen mendukung kesehatan masyarakat melalui jejaring pakar daerah. PEKI juga siap berkolaborasi bersama BRIN, pemerintah, dan lembaga internasional untuk menanggulangi risiko penyebaran penyakit yang ditularkan oleh hewan.