Jakarta: Hari Raya Iduladha 10 Dzulhijjah 1446 H yang jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025 menjadi momen penting bagi umat Islam di seluruh dunia. Ibadah kurban menjadi salah satu syiar utama hari besar ini, dengan menyembelih hewan ternak sebagai bentuk ketakwaan dan kepedulian sosial.
Namun, masih banyak pertanyaan yang muncul, khususnya tentang hukum orang yang mampu secara finansial namun memilih tidak berkurban. Apakah hal ini diperbolehkan menurut syariat?
Berikut uraian lengkap mengenai hukum orang mampu tetapi tidak berkurban, berdasarkan pandangan mazhab-mazhab besar dan ulama terkemuka.
Mayoritas Ulama: Berkurban Sunah Muakkadah, Bukan Wajib
Melansir penjelasan NU Online pada 2 Agustus 2020, sebagian besar ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa kurban hukumnya sunah muakkadah, yakni sangat dianjurkan namun tidak wajib. Artinya, orang yang melaksanakannya akan memperoleh pahala besar, tetapi jika ditinggalkan tidak berdosa.
“
Tiga hal yang wajib bagiku, sunah bagi kalian yaitu shalat witir, kurban, dan shalat Dhuha,” (HR Ahmad dan al-Hakim) menjadi salah satu dasar yang dikutip mayoritas ulama.
Dalam riwayat lain, Nabi Muhammad bersabda:
“
Aku diperintahkan berkurban, dan hal tersebut sunah bagi kalian,” (HR al-Tirmidzi). Kedua hadits ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi diperintahkan berkurban sebagai kewajiban, bagi umatnya hukumnya adalah sunah.
Hadits Ummu Salamah juga menunjukkan bahwa kurban bukan kewajiban mutlak.
“
Jika kalian telah melihat hilal Dzulhijjah dan salah satu dari kalian ingin berkurban, maka hendaknya ia tidak memotong rambut dan kukunya,” (HR Muslim). Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa hadits tersebut menggantungkan ibadah kurban pada kehendak, yang berarti meniadakan unsur wajib.
Dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (juz 3, hal. 596), beliau menyatakan:
“
Dalam hadits Ummu Salamah terdapat penggantungan kurban dengan kehendak, sedangkan menggantungkan ibadah dengan kehendak meniadakan hukum wajib.”
Dengan demikian, menurut mayoritas ulama, kurban adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah yang sangat dianjurkan. Namun jika seseorang mampu dan tidak melaksanakannya, maka tidak berdosa. Akan tetapi, karena terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wajibnya, sebagian ulama menyebut bahwa meninggalkan kurban bagi yang mampu bisa dianggap makruh.
Mazhab Hanafiyah: Wajib bagi yang Mampu
Berbeda dengan pendapat mayoritas, ulama dari mazhab Hanafiyah berpandangan bahwa kurban adalah wajib bagi setiap muslim yang mukim dan mampu secara finansial, kecuali bagi jamaah haji di Mina. Kemampuan di sini diartikan sebagai memiliki harta melebihi kebutuhan pokok dan senilai nishab zakat mal, yaitu 200 dirham.
Berdasarkan standar emas dan perak, 200 dirham setara dengan 595 gram perak. Jika mengacu pada harga pasar perak per 4 Juni 2025 yang mencapai sekitar Rp18.086 per gram, maka ambang batas kemampuan finansial untuk wajib kurban menurut mazhab Hanafiyah adalah sekitar Rp10.749.170.
Artinya, jika seseorang memiliki kekayaan setara atau lebih dari jumlah tersebut setelah dikurangi kebutuhan pokok, maka ia dianggap mampu dan wajib melaksanakan kurban menurut pandangan ini.
“
Barang siapa mampu berkurban dan tidak melaksanakannya, maka janganlah ia menghadiri tempat shalat kami,” (HR al-Baihaqi), menjadi salah satu hadits yang dikutip untuk menguatkan kewajiban kurban menurut Hanafiyah.
Namun, para ahli hadits menyatakan bahwa hadits ini lemah dan tidak dapat dijadikan dasar hukum yang kuat. Bahkan dikatakan bahwa Abu Bakar dan Umar pernah tidak berkurban karena khawatir masyarakat mengira ibadah ini wajib, sebagaimana dicatat oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili.
Hukum Makruh bagi yang Tidak Berkurban
Meski mayoritas ulama menyatakan kurban bukan wajib, mereka tetap menganggap meninggalkan kurban bagi orang mampu sebagai perbuatan makruh, atau tidak disukai dalam Islam. Hal ini karena terdapat perbedaan pendapat dalam kalangan ulama tentang kewajibannya, sehingga berhati-hati dengan tetap melaksanakannya lebih utama.
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj menyatakan:
“
Makruh meninggalkan kurban karena ikhtilaf ulama dalam kewajibannya, karena itu kurban lebih utama dari sedekah sunah.” Hal ini menunjukkan bahwa meski tidak wajib, tetap dianjurkan untuk melaksanakannya demi kehati-hatian dan sebagai bentuk ketakwaan.
Syekh Abdul Hamid al-Syarwani dalam komentarnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “lebih utama dari sedekah sunah” adalah seluruh ibadah kurban, baik yang dagingnya disedekahkan maupun dikonsumsi pribadi. Ia mengatakan:
“
Yang dimaksud adalah seluruh bagian dari kurban, dan karunia Allah sangat luas.”
Sebagian ulama juga berpendapat bahwa meninggalkan kurban tanpa alasan dapat menunjukkan sikap meremehkan syiar Islam, yang dapat mengurangi nilai ketaatan seseorang dalam beragama. Maka dari itu, hukum makruh dalam konteks ini bukan sekadar teknis fiqih, tapi juga berkaitan dengan semangat pengabdian kepada Allah SWT dan komitmen sosial terhadap sesama.
Karena itu, sekalipun tidak berdosa, meninggalkan kurban bagi orang mampu tetap tidak sepatutnya dilakukan. Sebab kurban memiliki keutamaan spiritual dan sosial yang tidak tergantikan oleh ibadah sunah lainnya.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun secara fiqih mayoritas ulama tidak mewajibkan kurban, namun bagi orang yang mampu, meninggalkan kurban tetap tidak dianjurkan, bahkan disebut makruh oleh banyak ulama. Maka dari itu, sangat disarankan untuk melaksanakan kurban jika memiliki kemampuan.
Dengan demikian, di Iduladha 6 Juni 2025 ini, mari kita jadikan momentum untuk memperkuat ketakwaan, memperluas solidaritas sosial, dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah dengan menunaikan ibadah kurban selagi mampu.