Himbara 'Rela' Enggak Untung Rp76 Triliun Demi Biayai Kopdes Merah Putih

Ilustrasi, gedung-gedung bank Himbara. Foto: dok BRI.

Himbara 'Rela' Enggak Untung Rp76 Triliun Demi Biayai Kopdes Merah Putih

Naufal Zuhdi • 20 July 2025 16:00

Jakarta: Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan perbankan Himbara (Himpunan Bank Milik Negara), rela tidak meraup keuntungan (opportunity cost) sebanyak Rp76 triliun karena lebih memilih mendanai Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih alih-alih menempatkan dana di Surat Berharga Negara (SBN).

Ini berdasarkan hitung-hitungan Celios dimana Himbara mendapatkan mandat untuk menyalurkan modal bagi Kopdes Merah Putih yang saat ini berjumlah 47.207 (per Juni 2025) dengan setiap koperasi dapat meminjam permodalan dari perbankan sebesar Rp3 miliar per koperasi.

Jangka waktu pinjaman yang diberikan Himbara selama enam tahun dengan bunga pinjaman tiga persen per tahun. Sementara itu, future value menggunakan asumsi faktor diskonto dengan tingkat suku bunga SBN sebesar 7,10 persen berdasarkan asumsi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

"Terlihat potensi kerugian terus membesar dari Rp10,06 triliun pada tahun pertama hingga mencapai Rp15,17 triliun pada tahun keenam. Pola ini mencerminkan tren penurunan esiensi pemanfaatan dana perbankan yang seharusnya bisa digunakan untuk pembiayaan produktif lainnya. Jika dana ini dialokasikan untuk sektor-sektor dengan tingkat pengembalian tinggi, maka opportunity cost tersebut bisa berkurang," jelas Huda, Minggu, 20 Juli 2025.

Lebih lanjut ia menjelaskan, kecenderungan meningkatnya opportunity cost menjadi sinyal intervensi terhadap program koperasi melalui skema pembiayaan perbankan tanpa melalui perhitungan keekonomian yang matang dapat menjadi beban fiskal tersembunyi dan berpotensi mengganggu stabilitas pembiayaan jangka panjang pada sektor perbankan.

Belum lagi, lanjut dia, risiko yang dihadapi oleh perbankan dari potensi risiko gagal bayar oleh Kopdes Merah Putih yang menggunakan proxy Non Performing Loan (NPL) pelaku UMKM, yang juga terdiri dari basis ekonomi rakyat kecil sama seperti koperasi. Selain itu, Kopdes Merah Putih juga mempunyai modal setara dengan pelaku UMKM. 

"Rata-rata NPL UMKM berada di kisaran empat sampai lima persen, dengan beberapa titik ekstrem seperti 4,92 persen pada 2017 dan 4,64 persen pada 2021. Dengan tingkat NPL tersebut, dapat disimpulkan koperasi ini memiliki potensi risiko kredit yang tidak kecil, terutama jika tidak disertai dengan tata kelola dan mitigasi risiko yang ketat," beber dia.
 

Baca juga: Pinjaman Kopdes Merah Putih Berpotensi Gagal Bayar, Capai Lebih dari Rp85 Triliun!


(Ilustrasi, Kopdes/Kel Merah Putih. Foto: dok Istimewa)
 

Berpotensi kredit macet Rp4 triliun dari Rp100 triliun pembiayaan


Huda menilai, jika pembiayaan Kopdes Merah Putih menggunakan dana dari perbankan (seperti yang direncanakan melalui Himbara), maka potensi gagal bayar cukup signikan. Tingkat NPL di atas empat persen berarti dari setiap Rp100 triliun pembiayaan, sekitar Rp4 triliun berpotensi terjadi kredit macet.

"Dalam konteks koperasi yang sering menghadapi tantangan administratif, rendahnya kapasitas manajerial, dan lemahnya pengawasan, risiko ini bahkan bisa lebih tinggi," terang Huda.

Dengan menggunakan dasar asumsi tingkat risiko gagal bayar koperasi sama dengan pelaku UMKM, terdapat risiko pembiayaan Kopdes Merah Putih sebesar Rp28,33 triliun di tahun keenam pembayaran. Ada eskalasi risiko pembiayaan Kopdes Merah Putih dari tahun ke tahun, dengan tren yang memburuk signikan. 

"Pada tahun pertama, potensi kerugian akibat gagal bayar tercatat sebesar Rp7,18 triliun dan terus memburuk akibat risiko gagal bayar. Lonjakan ini mencerminkan ketidakstabilan sistem pembiayaan koperasi, jika tidak disertai dengan tata kelola keuangan yang kuat, mitigasi risiko yang ketat, dan pengawasan menyeluruh dari lembaga terkait. Koperasi Merah Putih yang digagas kurang dari satu tahun menunjukkan kurangnya persiapan yang matang dan terkesan tidak prudent," tegasnya.

Di sisi lain, apabila program koperasi ini dibiayai dari sumber perbankan Himbara atau dana publik lainnya, pihaknya memandang risiko gagal bayar tersebut bukan hanya akan membebani koperasi dan anggotanya, tetapi juga berpotensi menimbulkan efek domino terhadap stabilitas keuangan nasional.

Terlebih lagi, koperasi yang tidak berbasis kebutuhan lokal dan dipaksakan secara seragam ke seluruh desa rawan mengalami missmatch usaha, lemahnya loyalitas anggota, hingga praktik fiktif. 

"Dalam jangka panjang, akumulasi kerugian ini dapat menjadi beban dengan skala yang signikan, serta merusak kepercayaan publik terhadap skema koperasi dan pemberdayaan desa yang berbasis ekonomi kerakyatan. Oleh karena itu, pendekatan berbasis analisis risiko dan penguatan kelembagaan menjadi mutlak sebelum proyek berskala besar seperti ini dijalankan," ucap Huda mengingatkan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)